Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hati-hati dengan beras yang Anda beli. Bebijian putih yang terlihat cantik nan harum itu mungkin mengandung klorin, zat kimia yang tak cocok untuk tubuh. Inilah bahan yang biasa digunakan untuk pemutih kain. Dalam bentuk kristal, klorin acap juga disebut tawas.
Kasus ini terungkap setelah Suku Dinas Pengawasan Obat dan Makanan Kota Tangerang mengambil beras sampel di sejumlah pasar tradisional beberapa waktu yang lalu. Bahan makanan pokok manusia itu kemudian diuji di laboratorium. Hasilnya bikin bergidik. Di setiap sampel ditemukan bahan kimia dalam jumlah tertentu.
Sejauh ini memang belum ada laporan tentang akibat fatal terhadap masyarakat. Tetapi Departemen Pertanian tidak perlu menunggu korban jatuh. Sesuai dengan peraturan pemerintah tentang keamanan pangan pada 2004, departemen itulah yang bertanggung jawab mengawasi proses produksi pangan segar. Beras termasuk dalam kategori ini.
Langkah penanganan itu mendesak dilakukan. Sebab, seperti hasil investigasi majalah ini, peredaran beras yang dipoles bahan kimia itu melibatkan hampir seluruh pemain di bidang perberasan—kecuali petani. Mereka adalah orang dalam di Badan Urusan Logistik, pedagang besar di pasar induk, hingga pengusaha penggilingan padi.
Beras polesan biasanya berasal dari beras turun mutu. Penurunan mutu itu banyak penyebabnya, misalnya terlalu lama menumpuk di gudang Bulog atau di gudang pedagang. Beras poles bisa berasal dari beras sapon, yaitu beras yang tercecer saat bongkar-muat, beras hasil operasi pasar, atau beras bocor yaitu beras yang tercecer saat pengecekan kualitas. Beras jenis ini biasanya terlihat kusam dan berbau.
Beras ”tumu” itu kemudian dikirim ke sentra penggilingan padi yang bertebaran dari Bekasi hingga Indramayu. Pengirimnya bisa pedagang beras yang meng-order langsung pemutihan. Tapi ada juga pengusaha penggilingan yang aktif berburu beras tumu ke berbagai tempat, terutama di musim paceklik. Beras tumu itu akan ”dijahit”, dan selanjutnya dipasok ke beberapa titik seperti pasar induk. Ada juga di antara beras yang sudah ”dijahit” itu yang kembali masuk ke gudang Dolog untuk stok.
Dari sini terlihat proses simbiosis itu berjalan rapi dan lolos begitu saja dari pengawasan Departemen Pertanian. Instansi ini beralasan tak punya aparat yang khusus bertugas untuk itu. Padahal tak sulit mengendus praktek sulapan beras ini. Di dekat sentra-sentra penggilingan biasanya dijual bebas bahan pemutih beras. Proses pemutihannya pun dilakukan terang-terangan di mesin selep mereka.
Jika masih sulit juga melacak prosesnya, Departemen Pertanian bisa bekerja sama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan menelusuri keberadaan beras berpemutih. Apa yang sudah dilakukan aparat POM Kota Tangerang bisa dicontoh dan diteruskan.
Praktek tercela ini harus dilarang. Konsumen jelas tertipu karena membayar mahal untuk barang ”rongsokan”. Penggunaan bahan kimia tentu saja mengancam kesehatan.
Departemen Pertanian dianjurkan mengambil tindakan tegas, misalnya menerbitkan surat larangan pemakaian bahan kimia dalam penggilingan. Jika ada yang membandel, perlu tindakan persuasif untuk menyadarkan mereka. Jika tak mempan, giliran polisi turun tangan.
Sembari menunggu aparat bergerak, masyarakat bisa belajar cara mendeteksi beras oplosan. Beras berpoles klorin biasanya putih mengkilat, licin dalam genggaman, berbau bahan kimia, dan air rendamannya putih pekat. Sedangkan beras asli berwarna putih kelabu, kesat dalam genggaman, baunya segar, dan air rendamannya sedikit putih. Sebelum yang buruk terjadi, konsumen perlu melindungi diri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo