Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak ada aturan yang melarang Susilo Bambang Yudhoyono merangkap jabatan presiden dan Ketua Umum Partai Demokrat. Tapi jabatan dobel Yudhoyono itu menunjukkan satu hal gamblang: Partai Demokrat sedang dilanda krisis pemimpin. Untuk partai berusia 12 tahun yang bercita-cita menjadi partai modern, ini jelas langkah surut. Kaderisasi pemimpin kelihatan macet, dan ¡±nilai jual¡± utamakalau bukan satu-satunyahanyalah Yudhoyono seorang.
Dalam dua pemilu lalu, Yudhoyono boleh dikata menjadi daya pikat tunggal untuk menambang suara. Ternyata, lebih dari sepuluh tahun berlalu, figur yang sama masih saja menjadi tumpuan harapankali ini untuk menahan jatuhnya elektabilitas partai. Usaha ini pun belum tentu manjur. Soalnya, menurut konstitusi, Yudhoyono, yang berada di pengujung masa kepresidenan kedua, sudah tak mungkin dicalonkan lagi. Tambahan pula, hingga sejauh ini, belum tampak inovasi politik cemerlang yang sanggup mendongkrak pamor Demokrat.
Belakangan ini, partai era reformasi itu malah ikut-ikutan tertular dua virus akut Orde Lama dan Orde Baru: korupsi dan konflik internal. Anas Urbaningrum, ketua umum yang digantikan Yudhoyono, lengser karena menjadi tersangka kasus korupsi. Melihat kapal Demokrat yang oleng, bisa dipahami bila Yudhoyono terpanggil. Tapi kesediaan Yudhoyono menjadi ketua umum, dan kemudian mendelegasikan hampir semua kewenangan, rasanya tak akan efektif memperbaiki partai itu.
Sebetulnya Yudhoyono bisa melakukan penyelamatan melalui jabatan Ketua Dewan Pembina sekaligus Ketua Majelis Tinggidua posisi dengan kewenangan sangat besar. Seorang ketua umum dengan kewenangan penuh bisa membantunya. Semestinya Yu¡©dhoyono mempertimbangkan pula kondisi negerijuga kapabilitasnya. Praktek semacam ini pun tidak selaras dengan sistem presidensial yang digagas para pendiri Republik. Bayangan idealnya adalah pemisahan tegas kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif melalui pemilahan jabatan. Rangkap jabatan presiden dan ketua umum partai berpeluang mengundang intervensi yang mengganggu sistem kontrol dan keseimbangan antarlembaga negara.
Undang-Undang Dasar 1945 memang tidak nyata melarang rangkap jabatan ini, meski tak satu pun pasal mendorong perangkapan itu. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (1949-1950) jelas mencantumkan pelarangan itu, begitu pula dengan Undang-Undang Dasar Sementara 1950-1959. Semangat para peletak sistem pemerintahan Republik itu sama dengan praktek di negara yang telah jauh lebih dulu menerapkan sistem presidensial, seperti Amerika Serikat. Presiden Obama, misalnya, tidak merangkap Ketua Partai Demokratik Amerika Serikatdengan chairman Debbie Wasserman Schultz.
Di Indonesia, agar sistem presidensial—yang kita anggap masih lebih cocok ketimbang sistem parlementer—terjaga, pelarangan rangkap jabatan perlu dibuat. Aturan ini bisa dimasukkan ke Undang-Undang Pemilihan Presiden yang sekarang sedang direvisi.
Presiden Yudhoyono sendiri perlu lebih berhati-hati, misalnya dalam mengatur perjalanan dinas dan kunjungan ke partai, termasuk urusan biayanya. Sesungguhnya ia tak perlu repot benar berbagi peran ini. Ia cukup berfokus pada tugas sebagai presiden dan kepala negara: memberantas kemiskinan dan korupsi serta meningkatkan ekonomi rakyat. Jika berhasil, Yudhoyono tak hanya menyelamatkan negeri ini, tapi juga citra Partai Demokrat.
berita terkait di halaman 44
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo