Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Korupsi adalah pencurian yang dilakukan penguasa. Itu sebabnya siapa pun, dan lembaga apa pun, yang mempunyai kekuasaan akan rawan tergoda korupsi. Makin besar kewenangan yang ada, makin besar peluang terkena penyakit laknat ini. Walhasil, karena Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan lembaga dengan kewenangan amat besar, tentu harus waspada terhadap serangan virus jahat ini. Upaya pencegahannya mesti maksimal. Sebab, bila KPK berlaku korup, apa kata dunia.
Dalam konteks itulah pembentukan Komite Etik KPK untuk memeriksa kemungkinan keterlibatan pemimpin institusi ini dalam kasus bocornya surat perintah penyidikan Anas Urbaningrum menjadi sebuah keniscayaan. Komite Etik, yang mayoritas anggotanya orang luar yang kredibel di mata publik, memang entitas yang pas untuk melakukan tugas itu. Sudah jadi pengetahuan umum, banyak koruptor besar di negeri ini selalu mencari peluang untuk melemahkan, bahkan kalau bisa membinasakan KPK. Kasus bocornya dokumen KPK tentu memberi peluang dijadikan kuda troya untuk menghancurkan institusi ini.
Untunglah peluang itu telah ditutup saat Komite Etik menyampaikan hasil pemeriksaannya, pekan lalu. Ketua KPK Abraham Samad dinyatakan melakukan pelanggaran sedang dan mendapat teguran tertulis, sedangkan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja disimpulkan telah melakukan pelanggaran etik ringan dan terkena sanksi teguran lisan. Keduanya dianggap kurang hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan publik.
Adapun yang membocorkan surat perintah penyidikan, menurut Komite Etik, bukan pemimpin KPK, melainkan sekretaris Ketua KPK. Abraham Samad dianggap lalai dalam mengawasi anak buahnya itu dan kurang berkoordinasi dengan pemimpin KPK yang lain. Selain itu, ada dugaan kebocoran terjadi dari jajaran non-pemimpin. Bagian pengawasan internal badan antirasuah itu pun diminta menelusurinya hingga tuntas.
Komite Etik memang hanya ditugasi memeriksa ketaatan etik pemimpin KPK dan memberikan rekomendasi untuk pembenahan lembaga ini. Rekomendasi yang diberikan adalah penyempurnaan nilai-nilai dasar pribadi para pemimpin, yang diwujudkan dalam bentuk perilaku mereka. Juga pembenahan tata kelola dokumen atau informasi dan penguatan kode etik serta pengawasan pelaksanaannya, termasuk pemberatan sanksi bagi yang mengulangi pelanggaran. Rekomendasi ini harus dilaksanakan KPK dalam waktu paling lama tiga bulan.
Keberhasilan Komite Etik menemukan pelanggaran dan menjatuhkan sanksi ini menunjukkan KPK memang sebuah entitas yang mempunyai kemampuan mengoreksi kesalahan yang dilakukan para pengelolanya, termasuk pemimpin tertinggi, secara terbuka. Ini hal langka di Indonesia dan, karena itu, patut mendapat apresiasi. Hal yang paling melegakan adalah tidak ditemukannya bukti adanya intervensi pihak luar dalam proses bocornya surat perintah penyidikan itu.
Perihal dugaan intervensi merupakan soal yang jauh lebih serius ketimbang bocornya sebuah draf surat resmi—yang bukan rahasia negara—ke media. Soalnya, saat itu, perseteruan di dalam partai penguasa membuat dua kubu yang berseberangan amat berkepentingan dengan cepat-lambatnya turun atau tak turunnya surat perintah penyidikan terhadap Anas Urbaningrum. Semakin cepat Ketua Umum Partai Demokrat ini dinyatakan sebagai tersangka, semakin menguntungkan kubu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan semakin merugikan kubu Anas. Soalnya, semua partai peserta pemilu harus memasukkan daftar calon legislator yang ditandatangani ketua umum partai ke Komisi Pemilihan Umum pada 17 April 2013. Artinya, orang yang menjabat Ketua Umum Partai Demokrat pada saat memasukkan daftar calon legislator akan mempunyai peluang kuat untuk menguasai partai.
Komite Etik menyimpulkan informasi bocoran yang sampai ke Istana boleh dikatakan sama waktunya dengan yang ke media, bahkan sedikit lebih lambat. Hasil penelusuran log berbagai perangkat komunikasi pemimpin dan penyidik KPK juga tak menemukan adanya komunikasi yang mencurigakan dengan kalangan luar, termasuk Istana. Hanya, Abraham Samad tak bersedia menyerahkan perangkat BlackBerry-nya untuk diperiksa, hingga menyisakan keraguan dalam kesimpulan yang sebenarnya melegakan ini. Sikap Abraham Samad bisa merugikan dirinya.
Semua itu sudah selesai. Yang lebih penting adalah KPK menjalankan semua rekomendasi tersebut secepatnya dan seluruh jajaran KPK menyikapi temuan Komite Etik sebagai bagian dari proses memperbaiki kinerja organisasi. Sebab, pemimpin atau lembaga yang baik dan profesional bukanlah yang tak pernah berbuat kesalahan, melainkan yang segera melakukan koreksi atas kesalahan dan bertanggung jawab atas konsekuensinya. Hanya mereka yang tak melakukan apa-apa yang bebas dari kesalahan.
berita terkait di halaman 32
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo