Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Mahkamah Konstitusi semestinya figur yang berintegritas tinggi. Ia bebas dari segala catatan tercela. Sebaiknya pula tidak berafiliasi dengan partai politik. Syarat ideal ini jauh dari Akil Mochtar, yang terpilih sebagai ketua baru, menggantikan Mahfud Md.
Politikus Partai Golkar itu pernah disorot oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat, termasuk Indonesia Corruption Watch. Ketika menjadi Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, ia dicurigai menerima suap berkaitan dengan pemekaran wilayah di Kalimantan Barat. Ia dituding ikut menikmati dana Rp 680 juta dari kas Kabupaten Sintang. Di tengah hukum yang masih amburadul, tuduhan ini akhirnya menguap begitu saja. Tiga aktivis LSM yang membeberkan kasus itu malah terancam delik pencemaran nama baik.
Tak habis pikir, kenapa dulu DPR tidak mempertimbangkan rekam jejak seperti itu ketika memilih Akil sebagai hakim konstitusi. Kini masa jabatannya malah diperpanjang, lalu terpilih menjadi Ketua MK. Obyektivitas kalangan politikus Senayan juga dipertanyakan ketika menyeleksi calon hakim konstitusi. Bagaimanapun Akil, yang malang-melintang di DPR selama dua periode, diuntungkan karena tentu dekat dengan para politikus.
Dewan juga membikin persyaratan longgar bagi hakim konstitusi. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tak ada larangan bagi bekas politikus mencalonkan diri. Tidak dimuat pula syarat khusus, misalnya sang calon mesti telah keluar dari partai politik selama lima atau sepuluh tahun terakhir. Kriteria ini untuk menghindari konflik kepentingan karena hampir semua kasus yang ditangani MK berhubungan dengan partai politik. Hakim konstitusi memutus sengketa pemilihan kepala daerah, pembubaran partai, hingga urusan pemakzulan presiden dan wakil presiden.
Perpanjangan masa jabatan Akil semakin mengherankan karena ia pernah diterpa isu tak sedap ketika menjadi hakim konstitusi. Tiga tahun lalu, pengacara Refly Harun mengungkapkan kesaksian Bupati Simalungun Jopinus Ramli Saragih yang mengaku pernah dimintai duit oleh Akil Rp 1 miliar. Permintaan ini berkaitan dengan sengketa pemilihan kepala daerah Simalungun yang ditangani MK. Kasus serupa menerpa hakim konstitusi lainnya, Arsyad Sanusi, yang dituduh menerima suap dari Dirwan Makhmud, calon Bupati Bengkulu Selatan.
Tim investigasi yang dipimpin Refly sempat memegang kesaksian penting dari Jumaidah, sekretaris Jopinus. Tapi, ketika dikonfrontasi oleh Majelis Kehormatan MK, ia menyangkalnya. Akhirnya Majelis menyimpulkan baik Akil maupun Arsyad tak terbukti menerima suap. Nama kedua hakim konstitusi pun direhabilitasi. Meski begitu, Arsyad akhirnya mengundurkan diri. Tapi Akil bertahan.
Bukan hanya rekam jejaknya yang sering dipersoalkan, latar belakang Akil sebagai politikus juga kerap disorot. Apalagi tahun ini banyak digelar pemilihan kepala daerah. Bisa dipastikan akan banyak sengketa yang dibawa ke MK. Masalahnya, mampukah ia memimpin sidang secara adil bila perkara yang diputus menyangkut calon kepala daerah yang diusung Partai Golkar. Pertanyaan ini sebetulnya juga berlaku bagi hakim konstitusi lain yang juga berlatar belakang politikus. Itu sebabnya khalayak perlu mengawasi sepak terjang mereka.
Sebaiknya pula pemerintah bersama DPR segera menyempurnakan persyaratan bagi calon hakim konstitusi. Tak selayaknya Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang amat besar diisi oleh orang-orang yang diragukan integritas dan independensinya.
berita terkait di halaman 27
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo