Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Berbeda itu perlu

Partai liberal demokrat di jepang tak kompak. tapi perbedaan ini justru berguna bagi demokrasi itu sendiri. demokrasi harus menerima perbedaan. ketidakkompakan jadi semacam penangkap sikap otoriter.

30 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAHKAH ketidakkompakan? Di Jepang orang pun berbicara tentang harmoni dalam sebuah ide, atau "rumah" kita. Tapi partai-partai politik seringkali terdengar sebagai sebuah rumah gila. Masing-masing gaduh oleh pertikaian antara habatsu. Habatsu, tentu saja, adalah kelompok-kelompok dalam partai. Lihatlah Partai Liberal-Demokrat yang berkuasa, misalnya. Ia bukan saja terbentuk oleh dua partai. Masing-masing partai yang tergabung juga membawa kelompok yang bertentangan dalam dirinya. Ada persaingan sengit antara orang-orang yang memasuki kehidupan politik dengan latarbelakang sebagai birokrat. Mereka menghadapi tojin, yang karir politiknya berasal dari lembaga perwakilan tingkat bawah sampai atas. Ada pula orang-orang yang berkelompok di bawah satu boss, karena sang oyabun mampu mengumpulkan dana politik. Uang ini penting, tentu saja: diperkirakan 100 juta yen diperlukan untuk kampanye agar seorang calon anggota partai menang. Seorang calon yang menerima bantuan dari seorang oyabun dengan demikian masuk, dan setia, kepada sang boss sebagai pemimpin kelompok. Jika demikian halnya, apakah sebenarnya yang menyebabkan sejumlah habatsu timbul? Perbedaan ideologis? Agaknya bukan. Prinsip? Juga hampir tak pernah. Partai Liberal-Demokrat menamakan diri "pragmatis". Dan itu artinya ia tak terlalu repot dengan ideologi ataupun prinsip. Barangkali kata yang paling dekat untuk menjelaskan fenomena khas Jepang ini ialah "kesetiaan". Kesetiaan itu terjalin dalam hubungan antara pemimpin dan pengikutnya. Dengan kata lain, ikatan pribadi begitu penting. Barangkali itulah sebabnya, bagi orang luar, kegaduhan dalam Partai Liberal-Demokrat sekarang membingungkan bagaikan teka-teki Cina: unsur-unsur berbentuk sendiri dan nyaris tak membentuk satu pola. Ada yang mengecam kehidupan politik macam itu sebagai satu penerusan dari mas feodal lampau. Di masa yang telah lewat itu, para hamba sahaya bergabung di bawah seorang tuan: para samurai mengabdi kepada seorang shogun, pribadi. Ada pula yang menganggapnya sebagai semacam kemacetan sistem demokrasi yang sebenarnya: partai pada akhirnya selalu dikuasai orang konservatif, dan kehidupan politik pada akhirnya berkisar pada kehidupan tokoh-tokoh. Lagipula, bukankah ketidakkompakan yang terjadi karena itu bisa merusak? Tidakkah patai lebih sering digiring oleh oportunisme, dan tak ada perekat ideologis yang mempertautkan faksi yang berpecah-pecah? Barangkali memang demikian. Tapi menarik juga untuk mendengar pendapat yang lain. Misalnya pendapat Hans H. Baerwald, guru besar ilmu politik dari Universitas California, seorang penelaah politik Jepang. Dalam salah satu esei yang dimuat dalam Politics and Economics in Conternpoay Japan (1979), Baerwald justru melihat hal yang berguna dalam ketidakkompakan Partai Liberal-Demokrat. Yang pertama ialah guna kehidupan demokrasi itu sendiri. Partai itu untuk masa yang akan datang nampaknya tetap akan jadi partai yang memerintah. Seandainya ia utuh bersatu, ia mungkin sekali jadi otoriter. Pemimpinnya, sebagai Perdana Menteri Jepang, bisa bersifat diktatorial. Ketidakkompakan atau fasionalisme dengan demikian jadi semacam penangkal sikap otoriter oligarkis yang bisa terjadi. YANG kedua, betapapun juga habatsu itu merupakan peluang untuk khalayak ramai yang ingin mengemukakan ide mereka, usul mereka dan rencana mereka. Dengan demikian cukup tersedia alternatif lain dalam tubuh partai yang memerintah. Sebab ketika partai-partai oposisi begitu lemah, saluran yang paling efektif hanya lewat unsur-unsur dalam partai yang berkuasa yang tidak satu warna. Memang, dapat dibayangkan bahwa ide atau usul dari pelbagai suara di bawah itu pada akhirnya akan disaring, dan mungkin ketajamannya hilang. Tapi demokrasi agaknya harus menghargai keniscayaan kompromi. Demokrasi juga -- dengan demikian--harus menerima perbedaan. Maka salahkah ketidakkompakan? Di Partai Liberal-Demokrat di Jepang jawabnya ialah tidak selalu. Kita ingin tahu bagaimana jawabnya di kelompok besar di tempat lain--misalnya Golkar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus