Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Peninggalan Guru Somalaing

Parmalim, agama asli tanah Batak, tetap terisolasi. Kearifan terhadap alam.

16 Januari 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG di Desa Hutatinggi, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, tak lagi hening seperti hari-hari lalu. Pada 15 Maret 2005, desa sejuk yang dihuni hanya 12 kepala keluarga itu seperti berpesta ketika sekitar 500 orang berdatangan dari berbagai penjuru. Para prianya bersorban putih, perempuannya bersanggul.

Mereka berkumpul di sebuah bangunan permanen seluas 200 meter persegi di suatu sudut desa. Duduk bersila di belakang, seorang pria bersorban hitam, dengan sepotong kain merah menyembul, menjuntai ke telinga kanan. Pria itu menghadap altar besar dengan berbagai sajian dan sebuah mangkuk berasap yang menyebarkan wangi dupa.

Sejenak kemudian gendang ditabuh, serunai ditiup, ditingkah petikan kecapi dan tabuhan gong. Si sorban hitam mulai merapal doa dalam bahasa Batak, diikuti jemaah di belakangnya. Kedua tangan mereka, yang tadinya merapat di depan dada, kadang-kadang meliuk-liuk mengikuti alunan musik.

Itulah ritual Parmalim, agama asli masyarakat Batak. Siang itu mereka sedang menggelar upacara Sipahasada, salah satu upacara terbesar yang menandai tahun baru berdasarkan kalender Batak. Upacara besar lain adalah upacara mensyukuri panen, disebut Sipahalima, yang jatuh pada bulan kelima, atau sekitar Juli.

Parmalim berarti ”orang-orang suci”. Menurut catatan budayawan Sitor Situmorang dalam bukunya, Toba Na Sae, 2004, Parmalim didirikan oleh Guru Somalaing Pardede pada 1890-an di tengah perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Guru Somalaing adalah penasihat dan pembantu utama Si Singamangaraja XII.

Parmalim memuja Tuhan yang mereka sebut Mulajadi Na Bolon (Maha Pencipta). Di bawahnya ada trimurti atau disebut Debata na Tolu, yaitu Batara Guru, Debata Sori, dan Bala Bulan. Mereka juga menjadikan Si Singamangaraja sebagai tokoh sentral karena dianggap titisan Mulajadi Na Bolon.

Di Hutatinggi, peribadatan Parmalim digelar di sebuah gedung bernama Bale Pasogit, dipimpin seorang Ihutan. Di kediaman masing-masing, para penganut agama ini umumnya memiliki altar atau langgatan sendiri sebagai sarana berdoa setiap hari atau menggelar ibadah mingguan setiap Sabtu.

Sepeninggal Guru Somalaing, ajaran Parmalim diteruskan pengikut dan keturunannya. Pemimpin tertingginya saat ini adalah Raja Ihutan Marnangkok Naipospos, 57 tahun, cucu Raja Mulia, murid Guru Somalaing. Penganut Parmalim diperkirakan sekitar 6.000 orang, yang tersebar di seluruh Indonesia.

Di Jakarta, salah satu pengikutnya adalah Abdul Wahab Kasmin Samosir. Pria yang kini berusia 80 tahun ini adalah tokoh musik tradisional Batak yang pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta di era Gubernur Ali Sadikin.

Ompung—demikian tokoh yang sering memetik kecapi di TVRI pada 1970-an ini akrab dipanggil—mengatakan memeluk Parmalim untuk melestarikan tradisi dan adat Batak yang kian tenggelam. Samosir mengaku amat gelisah dengan kecenderungan masyarakat Batak yang mulai meninggalkan tradisi dan adat. Mereka, katanya, sudah menggantikan gondang dengan keyboard listrik, menggantikan tor-tor dengan poco-poco. Di mata Parmalim, tindakan itu adalah dosa yang melanggar patik atau hukum agama.

Pengamat budaya Batak di Medan, Thomson Hutasoit, mengatakan, selain mengajarkan kearifan bertingkah laku, patik Parmalim juga mengajarkan kearifan terhadap alam. Pada saat menebang pohon, penebang harus berusaha agar pohon itu tak menimpa anak pohon lain. Begitu pun ketika memetik umbi-umbian yang menjalar, umat Parmalim harus menyisakan tunas.

Ironisnya, meski akrab dengan adat dan alam, Parmalim tak diterima baik sebagaimana agama-agama yang masuk ke tanah Batak sesudahnya. Oleh Belanda dan sebagian masyarakat, hingga kini agama ini ditekan dan dicap sebagai pemuja setan.

Akibatnya, hingga kini penganutnya seperti terisolasi. Marnangkok mengatakan, ketika membuat Kartu Tanda Penduduk, penganut Parmalim dipaksa mencantumkan agama yang diakui, atau menyebut ”Aliran Kepercayaan”. Lalu, ”Jangankan mendirikan rumah ibadah, ibadah rutin mingguan saja terpaksa kami lakukan di dalam rumah,” katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Deddy Sinaga, Bambang Soed (Hutatinggi)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus