Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mulchis Anwar *)
*)Mayjen (purn.), mantan Asisten Personel KSAD, kini pengamat militer dan politik, tinggal di Yogyakarta
INTELIJEN rupanya bikin repot pemerintah Indonesia. Karena itu, setelah Abdurrahman Wahid menganggap intelijen kita "kehabisan bensin", pemerintah pun merasa perlu menatanya meskipun terkesan agak terlambat. Berita terakhir, Menteri Pertahanan Moh. Mahfud M.D. akan melakukan penataan intelijen di Departemen Pertahanan. Agar penataan intelijen ini berhasil, upaya ini harus dilakukan secara menyeluruhtak hanya menyangkut kelembagaannya, tapi juga mengubah paradigmanya. Paradigma intelijen masa lalu (Orde Baru), yang hebat dalam melakukan rekayasa-rekayasa yang menjadikan rakyat lemah di hadapan penguasa, harus diubah. Intelijen kita harus mampu menjadi pendukung kekuasaan dan melayani kepentingan rakyat yang ingin hak asasinya lebih dihargai. Penataan intelijen sebenarnya harus didasarkan pada hakikat ancaman yang dihadapi sebuah negara. Ada tiga hakikat ancaman, yakni ancaman terhadap negara menyangkut eksistensi terhadap kedaulatan negara, ancaman terhadap pemerintah menyangkut lancarnya roda pemerintahan negara, dan ancaman terhadap masyarakat yang menimbulkan panik dan teror bagi masyarakat. Tapi, secara perspektif, intelijen dibutuhkan sebuah negara sebagai upaya pencegahan terhadap berbagai hakikat ancaman yang dihadapinya, dan bukan menjadi bagian dari terciptanya ancaman. Berdasarkan jenis ancaman yang dihadapi, tugas intelijen dibagi untuk beberapa institusi. Di banyak negara, ancaman terhadap negara menjadi porsi badan sekuriti nasional. Amerika punya CIA, sedangkan Rusia punya KGB. Demikian pentingnya peran mereka dan orang-orangnya sehingga mantan Direktur KGB kini menjadi Presiden Rusia. Bekas Direktur CIA Robert McNamara pun bisa menjadi Direktur Bank Dunia. Di negara-negara besar yang berorientasi ke luar, di setiap kedutaan besarnya ditempatkan orang intelijen. Badan intelijen negara memang tidak hanya bertanggung jawab menyangkut aspek militer, tapi juga nonmiliter seperti ancaman ekonomi, sosial, dan budaya, juga perubahan politik yang terjadi di negara yang dianggap penting diamati, bahkan masalah narkotik dan obat berbahaya (narkoba). Para intel Mossad, Israel (negara yang terjepit di tengah-tengah negara Arab), bahkan mengumpulkan data pribadi personelpersonel yang dianggap penting, dari raja dan keluarganya, presiden, perdana menteri, menteri, hingga perwira-perwira lapangan yang sedang berkuasa. Singapura, dengan jumlah penduduk yang sedikit, dari posisi yang terjepit antara Indonesia dan Malaysia, banyak mengirimkan perwiranya untuk belajar di Israel. Acaman terhadap pemerintah di negara maju pada umumnya dihadapi oleh dinas intelijen kepolisian negara. FBI di Amerika yang terkenal itu adalah intelijen polisi nasional yang berada di bawah Departemen Kehakiman. Mereka memiliki aparat yang dilatih khusus dengan seleksi khusus. Mereka juga disebar sehingga gejolak yang ada di masyarakat diketahui secara dini, hingga tak perlu timbul kerusuhan. Lalu, ancaman terhadap masyarakat sudah jelas merupakan porsi kepolisian negara dengan segenap jajarannya dari tingkat pusat hingga pedesaan. Di Indonesia, lembaga intelijen yang bertanggung jawab menghadapi ancaman terhadap negara adalah Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Di awal kemerdekaan hingga tahun 1967, Indonesia memiliki Dinas Pengawasan Keamanan Negara (DPKN) di bawah Kepolisian RI. Anggota DPKN berbeda dengan anggota polisi pada umumnya. Keahlian mereka khusus, penampilannya pun berbeda. Saat bertugas, misalnya, mereka memakai pakaian sipil dan aparatnya ditanam di berbagai lapisan masyarakat. DPKN sangat berpengaruh. Berbagai utusan menyangkut pengendalian keamanan negara berada di bawahnya. Perizinan pengadaan bahan peledak dan distribusinya, misalnya, menjadi tanggung jawab DPKN. Peran institusi ini sebenarnya tak berbeda dengan peran FBI di Amerika Serikat. Tapi, setelah polisi digabung dengan ABRI, DPKN dihapus, lalu diganti dengan Badan Intelijen Strategis (Bais). Waktu kemudian membuktikan, penguasa kita lebih suka menjadikan lembaga intelijen sebagai pelayan kekuasaan, bukan pelayan negara dan rakyatnya. Dengan paradigma intelijen sebagai pelayan kekuasaan, terjadilah rekayasarekayasa agar masyarakat bergantung pada penguasa: rekayasa akan berdirinya sebuah negara Islam yang mengancam negara Pancasila, rekayasa Komando Jihad, Warsidi, dan sejumlah rekayasa lain. Masuknya sejumlah sesepuh TNI seperti H.R. Darsono, disingkirkannya Ali Sadikin, serta sempat dikucilkannya sesepuh TNI A.H. Nasution, sebetulnya, hasil rekayasa intelijen pula. Masih ada beberapa daftar hasil rekayasa intelijen kita, tapi, kalau disebutkan, dipastikan akan banyak pihak yang sakit hati. Rekayasa seperti ini tidak hanya dilakukan oleh intelijen resmi, tapi juga oleh lembaga seperti Opsus bentukan mendiang Ali Murtopo. Rekayasa seperti itu berhasil membungkam suara rakyat, meskipun kemudian menyimpan bara dalam sekam. Keterpurukan ekonomi dan sosial serta kerusuhan yang berlangsung hingga kini di berbagai tempat adalah sebagian dari akibatnya. Hasil rekayasa intelijen yang menghasilkan kegagalan besar adalah soal Timor Timur. Intelijen yang punya kemampuan rekayasa hebat itu ternyata tak mampu memberikan gambaran situasi Tim-Tim ketika tentara RI pertama kali diturunkan di sana. Pasukan tempur mendapatkan informasi bahwa menguasai Tim-Tim mudah saja. Lokasi wilayah dikatakan datar, padahal berbukitbukit. Rakyatnya dikatakan tak memiliki kemampuan tempur, padahal ada Tropaz, pasukan peninggalan Portugis yang andal dan punya persenjataan lebih baik dibandingkan dengan pasukan TNI. Bahkan, laut yang banyak ikan hiunya pun tak bisa dideteksi oleh intelijen kita. Akibatnya, TNI dan rakyat Indonesia menderita korban besar. Ribuan jasad prajurit yang dimakamkan di berbagai makam pahlawan RI di Timor Leste menjadi saksi bisu untuk payahnya kemampuan intelijen kita. Dan kemampuan intelijen kita kembali dipertanyakan ketika tak juga mampu memberikan jawaban bagi masalah-masalah aktual saat ini. Tak hanya masalah pengeboman, tapi juga berbagai kerusuhan (terakhir kali kerusuhan Wamena). Kerusuhan itu tak bisa diantisipasi untuk pencegahan, bahkan ada dugaan sebagian dari aparat intelijen kita ikut andil menciptakan kerusuhankerusuhan itu. Dengan segenap masalah berat di atas yang disebabkan oleh ketidakmampuan intelijen, penataan harus segera dilakukan. Yang pertama adalah perubahan paradigma. Intelijen adalah bagian dari pelayan rakyat, dan bukan alat penguasa untuk melanggengkan kekuasaan dengan segala cara. Karena itu, Bakin, yang selama ini lebih "heavy" institusi militer, harus diubah menjadi institusi sipil dan dipimpin oleh orang sipil. Dalam masa transisi seperti sekarang, bisa saja pejabatnya seorang polisi. Tapi siapa pun orangnya haruslah memiliki kemampuan memadai. Seorang Kepala Bakin, misalnya, harus punya latar belakang pendidikan intelijen yang andal, punya jam terbang yang lebih dari cukup di dunia intelijen, dan harus menguasai dengan baik bahasa asing, minimal Inggris. Adalah hal yang aneh jika seorang Kabakin, yang harus berhubungan dengan lembaga dan pejabat intelijen berbagai negara, mendapatkan masalah komunikasi. Tapi itulah yang terjadi di zaman Orde Baru. Bakin juga harus melengkapi diri dengan staf yang hebat. Mereka harus dipilih dari sarjana berbagai disiplin ilmu yang menguasai berbagai bahasa. Dengan kondisi negara kita, selain bahasa Inggris, bahasa Rusia, Prancis, Cina, Jepang, Arab, dan Vietnam adalah bahasa wajib intelijen. Dengan perubahan paradigma serta andalnya pemimpin dan staf Bakin, seorang Kabakin dalam setiap rapat kabinet akan mampu memberikan masukan yang diperlukan presiden dan para menteri. Bukan hanya masalah bagaimana mengantisipasi kerusuhan, tapi juga menghentikan teror. Berbagai masalah menyangkut indeks harga saham dunia dan kemungkinan dampaknya juga menjadi pekerjaan lembaga ini. Masalah-masalah masyarakat, seperti banyaknya orang Afrika yang membawa narkotik, harus diketahui juga oleh para peserta rapat kabinet. Dengan intelijen seperti itu, presiden tak akan mungkin mengatakan "intelijen kita kehabisan bensin" hingga perlu sumber intelijen lainnya. Lantas, untuk urusan penanganan terhadap jalannya roda pemerintahan negara, DPKN harus dihidupkan kembali. Penanganan intelijen dalam negeri adalah tanggung jawab mereka. Perwira-perwira polisi yang terpilih harus segera dididik di berbagai lembaga pendidikan luar negeri yang terbukti bagus, seperti di Jerman, Inggris, dan Amerika Serikat. Tapi, untuk kebutuhan jangka pendek, bisa saja digunakan tenaga yang ada di lembaga lain, dalam hal ini TNI. Dalam masalah teror bom, misalnya, bisa diambil jalan pintas dengan mengambil ahliahli antiteror yang ada di Kopassus, tentu saja dengan pembinaan agar mereka betulbetul berjiwa polisi. Di luar negeri pun tak jadi masalah bila special force dijadikan polisi. DPKN juga harus melengkapi diri dengan aparat di lapangan yang andal. Mereka harus punya orang yang ditempatkan di berbagai aspek kehidupan. Ada buruh, ada yang di dunia kriminal, ada pula yang di kelompok high class. Mereka harus mendapatkan berita langsung dari rakyat karena rakyatlah sumber informasi. Ini jelas berbeda dengan cara mendapatkan informasi gaya Orde Baru, yang suka menakuti rakyat. Dan informasi itu digunakan untuk pencegahan. Misalnya, jika ditengarai ada keresahan buruh yang berkaitan dengan standar hidup yang rendah, masalah ini harus segera sampai ke pemerintah agar dicari pemecahannya, hingga tak perlu timbul pemogokan besar atau kerusuhan yang membuat ekonomi anjlok. Agar DPKN bisa sukses, polisi harus memiliki sejumlah prasyarat. Kualitas personel dan moral harus ditingkatkan. Polisi juga harus membersihkan diri dulu dari kasus lama seperti kasus Marsinah dan Udin. Sudah selayaknya pula kesejahteraan dan gaji polisi ditingkatkan. Bagaimana dengan posisi Bais? Sesuai dengan reposisi TNI, Bais seyogianya tetap berada di bawah kendali Menteri Pertahanan. Tugas pokok Bais adalah mencari informasi menyangkut pertahanan negara saja, misalnya lembaga ini mengumpulkan data menyangkut keamanan di perbatasan. Karena itu, struktur Bais harus diubah. Fungsi Bais yang menyangkut masalah politik dalam dan luar negeri harus dipindahkan ke Bakin. Masalah perizinan kapal asing, izin jual-beli senjata, dan sejumlah urusan administratif lain harus pula dipindahkan ke Bakin atau DPKN. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 Jaringan Media © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |