Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Dicari: Sang Pemimpin

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mar'ie Muhammad *)
*)Ketua Masyarakat Transparansi Indonesia

Negeri ini tidak henti-hentinya dirundung malang. Persoalan lama belum selesai, sudah ditindih dengan persoalan baru. Ekonomi masih maju kena mundur kena, sementara negara-negara jiran kita yang juga dilanda krisis sudah melaju. Hubungan dengan sang raja uang IMF dan Bank Dunia panas-dingin. Di hati kita terasa ada ganjalan, apakah kebebasan harus digadaikan untuk sesuap nasi meskipun kita butuh fulus mereka. Aceh masih jauh dari damai, Irian atau Papua bahkan semakin eksplosif.

Sementara itu, barisan kaum penganggur yang mencari pekerjaan semakin panjang. Lapangan pekerjaan baru dapat diciptakan lewat investasi, tapi itu hanya akan terjadi jika keamanan terjamin. Padahal tawuran di antara berbagai kelompok masyarakat justru semakin semarak. Para pengungsi pun semakin tercecer di mana-mana menunggu uluran tangan yang memberikan harapan dan penghidupan. Demo kini merupakan mode bagaikan perhelatan perkawinan yang serba bisa diatur, sering kali diikuti kekerasan. Soal Soeharto masih terkatung-katung, boleh dikatakan semakin tidak jelas juntrungannya. Epilog Timor Timur belum juga selesai, milisia ciptaan kita menjadi beban Republik, bagaikan RMS yang sekarang hijrah di Belanda.

Alhasil, ramai sekali negeri ini, bagaikan permen Nano-Nano yang terjatuh ke dalam got. Rasa asam, manis, dan pedasnya berubah menjadi serba getir dan pahit. Ditambah lagi hiruk-pikuk ini menjadi semakin ingar-bingar berkat perang tanding antara MPR, DPR, dan eksekutif untuk saling memamerkan kekuasaan. Rakyat awam sungguh tidak mengerti. Di hati mereka tebersit pertanyaan, apakah ini hasil reformasi dan demokrasi. Isi hati mereka ini saya tangkap setelah jogging di Senayan, saat melepas lelah dan bercakap-cakap sambil menghirup minuman dingin untuk melepaskan dahaga.

Keadilan memang harus ditegakkan, itu awal dari semuanya. Yang mengambil harta rakyat untuk memperkaya diri, siapa pun dia, harus dihukum dan mulailah tindakan ini dari si kakap. Tetapi, ya Allah, pengadilan mana yang bisa menegakkan keadilan, masyarakat sungguh tidak tahu. Sudah lama masyarakat tidak percaya kepada lembaga-lembaga resmi. Sekarang antarkelompok masyarakat pun sudah saling tidak percaya. Begitu pula kepercayaan internasional terhadap Indonesia semakin menurun karena Indonesia dianggap plintat-plintut atau tidak konsisten.

Urusan daerah juga rumit bagaikan api dalam sekam. Urusan daerah tidak bisa digeneralisasi, sebab-sebab dan kondisinya berbeda-beda. Satu hal yang pasti sama bagi semua daerah di luar Jawa: mereka mau diberikan kebebasan sepenuhnya untuk mengurus daerahnya sendiri. Apa yang ingin mereka urus dan bagaimana cara mengurus daerahnya diserahkan kepada mereka, dan itulah aspirasi yang hidup di daerah, terlepas Jakarta suka atau tidak suka. Masyarakat Aceh, misalnya, sudah merancang suatu rancangan undang-undang tentang pengurusan daerah Aceh menurut versi mereka. Konsep ini sudah lama disampaikan ke DPR, tetapi sampai saat ini tidak jelas ujung-pangkalnya. Kalau konsep ini bisa diselesaikan secara konstitusional, mungkin dapat dijadikan pola, tentu dengan penyesuaian sesuai dengan karateristik daerah masing-masing.

Kalau kepemimpinan yang waras tidak jalan atau setengah jalan atau kurang efektif, keadaan itu berbahaya. Situasi seperti ini bisa dimanfaatkan oleh "orang gila" yang populer di kalangan masyarakat. Lihat di Jerman, yang mengalami krisis setelah Perang Dunia II, muncul Hitler dengan Nazi dan pikiran-pikiran yang gila tetapi menawan hati rakyat yang lagi mendambakan kepemimpinan. Ada yang bilang, nanti akan muncul "orang kuat" dari kalangan militer yang pasti akan otoriter. Saya tidak terlalu percaya pada perkiraan seperti ini, karena kaum militer saat ini dalam proses demoralisasi, tidak mempunyai figur kuat yang diterima di semua kelompok di kalangan mereka.

Supaya bangsa ini dapat keluar dari tawanan persoalan, kita tidak perlu jauh-jauh belajar dari Afrika Selatan. Ambil saja perbandingan dengan negara sejiran, yaitu Filipina, yang banyak persamaannya dengan kita. Filipina dapat dikatakan berhasil mengatasi masa transisinya dengan selamat. Pelajaran yang bisa dipetik dari Filipina adalah masalah Marcos diselesaikan oleh suatu komite. Energi nasional dipusatkan untuk menyelesaikan soal-soal di hadapan mereka seraya merancang masa depan dengan mengambil pelajaran dari masa lalu. Aquino dan Ramos banyak jasanya untuk membereskan soal-soal warisan Marcos. Meskipun begitu, perhatian dan tenaga mereka tetap banyak dipusatkan untuk memperbaiki kehidupan rakyat sehari-hari yang tidak dapat ditunda-tunda. Aquino memberikan kepemimpinan moral, Ramos lebih memberikan kepemimpinan politik dan ekonomi atas dasar moralitas baru yang ditegakkan oleh Aquino.

Yang diperlukan Indonesia saat ini ialah sekaligus kepemimpinan moral, ekonomi, dan politik. Jadi, lebih kompleks dan lebih berat. Dapatkah Gus Dur dan Megawati memberikan kepemimpinan yang demikian ini? Kita berharap-harap cemas, semoga berhasil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum