Setelah membaca "Ancaman Boraks lewat Bakso" (TEMPO, 2 Maret 1991, Kesehatan) tentang penyalahgunaan bahan industri yang disulap sebagai campuran bahan makanan, kemudian keprihatinan Zaim Saidi terhadap mekanisme dan pengawasan peredaran obat di negara kita (TEMPO, 9 Maret 1991, Kolom), terus terang hal itu membuat bulu remang kita merinding. Bayangkan, bahan yang digunakan sebagai sampel itu adalah jajanan yang sehari-hari beredar dan diperdagangkan pada SD-SD yang berlokasi di sekitar kantor YLK. Tentunya, bahan yang tidak aman bagi kesehatan itu sehari-harinya sudah dilahap pula oleh adik atau anak-anak kita. Padahal, diharapkan di tangan merekalah Indonesia kelak. Alangkah berbahayanya bila hal itu berlanjut terus-menerus. Demikian pula, terlalu banyak merek obat yang beredar di masyarakat, hal ini hanya akan membuat masyarakat sebagai konsumen menjadi bingung. Bila ini dimaksudkan agar masyarakat dapat bebas memilih obat yang sesuai dengan selera kantungnya, juga tidak tepat, karena obat bukanlah kueh pembangkit selera. Karena itu, tanpa bimbingan dan arahan dari pihak yang berkompeten, hal itu justru akan menaikkan kasus salah obat, karena masyarakat tidak tahu akan fungsi obat yang dipakainya. Tepatlah kiranya kalau arus keterbukaan pun tidak hanya di sekitar panggung politik, tapi juga mencakup semua pentas yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, di samping terus merapikan serta menertibkan sistem tata niaga, peredaran, dan pengawasan yang ketat terhadap penggunaan bahan industri serta obat-obatan. Taruhan dari kedua hal di atas adalah keselamatan generasi dan masyarakat kita sendiri, bukan produsen-produsen obat yang mungkin memanfaatkan keawaman masyarakat. Ataukah kita harus menunggu dulu agar korban berjatuhan? BUDI SETIAWAN Dept. of Applied Science Graduate Course of Engineering Tokai University, Kitakaname 1117 Kanagawa - Japan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini