Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Stiker di belakang mobil: kebutuhan akan agama

13 April 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menarik sekali menyimak fenomena stiker yang saat ini memang kian terasa. Stiker bisa menjadi sarana menyatakan suara batin tanpa harus khawatir menimbulkan polemik dari pembacanya. Bisa juga menjadi pernyataan identitas diri (dan mungkin juga obsesi-obsesi), terlepas apakah ia itu merendahkan atau membanggakan diri. Hal ini telah dikategorisasikan Mochtar Pabottinggi menjadi tiga bagian: obsesi pada status, kecenderungan pada kekerasan, dan penjaja bendera kepercayaan. Ia sekaligus menangkap -- kalau saya tak salah -- sisi lemah dari ketiganya. (TEMPO, 23 Maret 1991, Kolom). Sedangkan yang ingin saya tinjau adalah kategori terakhir: penjaja bendera kepercayaan. Saya ingin sekali mengajak untuk melihat sisi lain dari fenomena ini. Terus terang, saya agak kurang sependapat bila hal ini dianalogikan dengan dua hal terdahulu. Tiba-tiba ada yang terketuk dalam jiwa saya, bila di depan saya ada mobil yang berstiker: Yes, We're Moslem! Islam is My Blood atau mungkin juga, Smile! Jesus Loves You I Walk The Buddha's Way. Saya merasa terharu, simpati, atau mungkin juga rasa bangga melihat itu semua. Dan saya tak mampu menangkap adanya relevansi antara stiker-stiker itu dan berebut jalan, gertak klakson, atau mementingkan diri sendiri di jalan raya. Di tengah-tengah rutinitas kerja dan tugas seperti yang kita rasakan saat ini, saya melihat bahwa penenang jiwa bukan cuma sekadar kata-kata jenaka, tapi mungkin kita perlu kembali kepada kalimat-kalimat transedental seperti itu. Ini mengingatkan kita kembali kepada siapa dan apa identitas sebenarnya. Bila suatu saat kita melanggar peraturan lalu lintas, bukankah kita akan berpikir beberapa kali sebelum melaksanakannya bila membaca kalimat-kalimat seperti itu di mobil kita sendiri? Bangsa kita adalah bangsa religius, mengapa kita harus skeptis bila rasa butuh akan agama kembali muncul dan dinyatakan di mana-mana? Dan kepada mereka yang "berani" menunjukkan identitas diri lewat cara ini, perlu disampaikan penghargaan. Saya yakin, mereka itu telah "mengorbankan sesuatu" sebelum memutuskannya. NASH AZFA MANIK Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus