Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penolakan terhadap tim nasional Israel menunjukkan bahwa kita mengkotakkan sepak bola berdasarkan sentimen politik atau agama.
Pemerintah malah mengajukan sejumlah syarat kepada FIFA soal keikutsertaan Israel.
FIFA seharusnya menggeser posisi Indonesia lebih cepat saat terjadi tragedi Kanjuruhan.
MARI akui dengan jujur dan terbuka, Indonesia sesungguhnya memang tak siap menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Meluasnya penolakan terhadap tim nasional Israel menunjukkan bahwa kita mengkotakkan sepak bola berdasarkan sentimen politik atau agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memperbaiki sepak bola dari coreng tragedi Kanjuruhan seharusnya lebih utama. Indonesia telah kehilangan legitimasi moral dalam isu kemanusiaan dan kesetaraan mengatasnamakan Palestina karena tak bisa menegakkan hukum terhadap para pelaku pembunuhan penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penolakan sejumlah partai dan kelompok Islam terhadap kehadiran tim nasional sepak bola Israel membuat Federasi Sepak Bola Dunia, FIFA, membatalkan pengundian Piala Dunia U-20 yang diadakan di Bali pada 31 Maret mendatang. Pada 14 Maret lalu, Gubernur Bali I Wayan Koster mengirim surat kepada Menteri Pemuda dan Olahraga yang isinya menolak kehadiran Israel. Ia beralasan negara itu telah menjajah Palestina. Suara sumbang Koster ini turut didukung koleganya di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Sikap dua gubernur ini terasa aneh dan berbau politis. Keduanya sudah menandatangani surat kesediaan menjadi kota tuan rumah, yang terikat dengan aturan FIFA. Koster bahkan pada Januari 2023 menyatakan Bali siap mendukung Piala Dunia U-20 yang akan digelar pada 20 Mei-11 Juni mendatang. Enam bulan sebelumnya, atau pada Juni 2022, Israel telah lolos sebagai kontestan. Sejumlah pengurus PDIP lainnya, partai yang jarang bersuara menentang Israel, ikut memperkeras volume kebencian dari kelompok Islam kanan.
Menghadapi tekanan itu, pemerintah malah mengajukan sejumlah syarat kepada FIFA soal keikutsertaan Israel. Dalih pemerintah bahwa konstitusi Indonesia menolak penjajahan terhadap negara lain tak dapat diterima untuk ajang sepak bola internasional yang mensyaratkan perlakuan setara terhadap semua peserta. Tidak pernah ada organisasi olahraga internasional yang membatalkan Israel sebagai peserta hanya karena tuan rumah memiliki konstitusi seperti Indonesia.
Solidaritas terhadap rakyat Palestina dan dukungan terhadap kemerdekaannya tidak berguna jika ditunjukkan dengan memboikot perhelatan Piala Dunia U-20. Solidaritas itu pun seharusnya dilakukan melalui jalur diplomasi internasional, bukan ditendang ke tengah lapangan sepak bola, yang tidak memberi tempat pada kebencian. Jika timnas Israel jadi berlaga di negeri ini, rakyat Palestina nun jauh di sana tak akan membenci kita yang selama ini konsisten mendukung kemerdekaannya.
Seandainya FIFA membatalkan Indonesia menjadi tuan rumah, terima saja nasib tinggal di negeri yang penduduknya gemar memelihara kebencian. Pemerintah dan PSSI (Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia) tak perlu repot menghabiskan energi memohon kepada FIFA. Lembaga yang dipenuhi skandal korupsi dan mengejar keuntungan finansial itu memang berhak mengganti posisi tuan rumah ke negara mana pun. FIFA seharusnya menggeser posisi Indonesia lebih cepat, saat terjadi tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang dan berujung sanksi ringan bagi mereka yang bertanggung jawab.
Indonesia seharusnya tak perlu ngotot menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20. Ini hanya cara instan menjadi peserta Piala Dunia tanpa melalui kualifikasi. Strategi ini telah dijalankan Qatar pada Piala Dunia 2022, dengan hasil gagal total sejak awal. Demi mengejar legacy “pernah menyelenggarakan Piala Dunia”, meski hanya U-20, pemerintah bahkan harus menyiapkan anggaran hingga Rp 3 triliun. Orientasi yang keliru itu telah terlihat saat pemerintah melobi FIFA agar tak mencabut posisi tuan rumah karena terjadi tragedi Kanjuruhan.
Pun seandainya Indonesia tetap menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20, pemerintah harus menyelesaikan berbagai persoalan dan kerusakan yang tidak kecil. Penolakan terhadap kehadiran timnas Israel bakal terus meluas dan menjadi panggung politik kaum oportunis yang mencari dukungan dari kelompok Islam. Jika tak sanggup menuntaskan persoalan tersebut, kita lebih baik berfokus memperbaiki iklim sepak bola dan menyatakan kepada FIFA, “Kami cukup menjadi negara yang bermimpi menjadi tuan rumah Piala Dunia.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo