Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH pemerintah membentuk Satuan Tugas Percepatan Investasi bukan merupakan obat mujarab untuk "menyembuhkan" penyakit kronis yang selama ini menyumbat masuknya aliran modal, baik dari luar maupun dalam negeri. Alih-alih mengatasi hambatan berusaha untuk kemudahan investasi, keberadaan satuan tugas ini justru bisa memperpanjang rantai inefisiensi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketimbang membentuk lembaga baru melalui Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2021 pada 4 Mei lalu, Presiden Joko Widodo semestinya mengoptimalkan kementerian Investasi. Satuan tugas ini dipimpin oleh Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Bahlil Lahadalia. Di bawahnya ada Wakil Jaksa Agung dan Wakil Kepala Kepolisian RI, yang masing-masing mengisi posisi wakil ketua I dan II . Selain menambah panjang rantai birokrasi, satuan tugas ini memboroskan anggaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keterlibatan petinggi kejaksaan dan kepolisian dalam satuan tugas ini juga diragukan efektivitasnya. Dalih bahwa keterlibatan dua petinggi institusi penegak hukum itu untuk mencegah pungutan liar dalam berinvestasi, sekaligus memberi kepastian hukum, tak sejalan dengan praktik yang selama ini berlangsung. Sudah menjadi rahasia umum bahwa komitmen dua lembaga ini sangat rendah dalam mencegah ataupun memberantas pungutan liar.
Hasil sigi "Tren Persepsi Publik tentang Korupsi di Indonesia" yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia bersama Indonesia Corruption Watch pada akhir 2018 lalu justru menunjukkan: potensi terbesar terjadinya pungutan liar dalam pelayanan birokrasi ada di kepolisian, disusul lembaga peradilan. Kasus pungli dan pemerasan yang berkaitan dengan perkara juga masih marak terjadi di kejaksaan. Lalu, bagaimana mungkin menggantungkan harapan pada dua lembaga yang selama ini menjadi bagian dari akar permasalahan?
Bukan hanya itu, keterlibatan polisi dan jaksa dalam satuan tugas berpotensi mengundang kekhawatiran baru. Dengan dalih mewujudkan kepastian hukum untuk investasi, polisi dan jaksa kian sewenang-wenang mengkriminalkan para aktivis lingkungan ataupun masyarakat yang getol menolak proyek yang merusak lingkungan. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mencatat, setidaknya terdapat 146 kasus dugaan kriminalisasi yang menyasar pegiat lingkungan sepanjang 2014-2019. Sebagian besar dari kasus itu berkaitan dengan investasi di industri ekstraktif.
Persoalan tidak berhenti sampai di situ. Rencana Satgas Percepatan Investasi merangkul Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di sejumlah daerah sebagai tenaga pelaksana untuk menghubungkan calon investor agar bermitra dengan pengusaha lokal-nasional juga membuka peluang terjadinya praktik nepotisme dan kroniisme. Bila prosesnya tidak transparan, kewajiban investor menggandeng pengusaha lokal hanya akan menguntungkan segelintir orang yang dekat dengan pengurus Kadin.
Model kerja sama semacam ini pada akhirnya hanya akan melahirkan "raja-raja" lokal yang memperburuk inefisiensi serta membuka peluang korupsi. Kebijakan afirmatif ini juga bertolak belakang dengan semangat pasar yang memberi kesempatan yang sama bagi semua pihak untuk berkompetisi.
Ketimbang membentuk lembaga baru yang mubazir, pemerintah sebaiknya berfokus mengatasi masalah klasik investasi yang lebih fundamental. Salah satunya adalah memperbaiki daya saing industri. Rendahnya daya saing ini juga menjadi catatan beberapa lembaga pemeringkat investasi, seperti Fitch Ratings. Daya saing industri penting agar kita bisa masuk ke jaringan produksi dan penjualan global.
Salah satu solusi memperbaiki daya saing adalah menggenjot ketersediaan angkatan kerja terampil agar bisa mendatangkan investasi jangka panjang. Faktor penting lain untuk meningkatkan daya saing adalah membenahi perizinan Indonesia yang masih rumit dan berbelit-belit. Masih buruknya perizinan ini menyebabkan peringkat kemudahan berusaha (ease of doing business/EoDB) Indonesia versi Bank Dunia stagnan di peringkat ke-73 dalam dua tahun terakhir, kalah dibanding Vietnam dan Malaysia.
Keberadaan satuan tugas ini memberi kesan Jokowi tidak percaya diri dengan Kementerian Investasi yang baru dibentuknya. Tanpa kepercayaan penuh dari presiden, janji Menteri Investasi Bahlil Lahadalia mewujudkan realisasi investasi Rp 900 triliun tahun ini dan memperbaiki peringkat kemudahan investasi ke posisi 40 bagai pungguk merindukan bulan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo