Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sungguh malang negara ini jika mempunyai pol-isi yang tidak paham perannya dalam kehidupan demo-krasi. Dalam negara totaliter, mereka biasa dis-uruh memata-matai musuh politik penguasa. Namun, da-lam negara demokratis, kepolisian mesti memusatkan pada tugasnya menjaga keamanan, ketenteraman, keter-tiban, serta menegakkan hukum. Jika polisi menyelusup ke dalam urusan politik, bukan hanya mengakibatkan tugas utama telantar, tapi juga akan mencederai demokrasi.
Kini polisi mulai terlihat mengusik demokrasi, yang susah payah ditata sejak tujuh tahun lalu. Terungkap, seorang direktur intelijen keamanan Kepolisian Daerah Metro Jaya telah mengeluarkan surat perintah kepada anak buahnya untuk menyelidiki kegiatan Fraksi Partai Keadil-an Sejahtera dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di DPR. Ini berkaitan dengan langkah kedua fraksi membentuk tim investigasi terhadap kebijakan pemerintah mengimpor beras dari Vietnam, setelah usul penggunaan hak angket di parlemen kandas.
Tiada sama sekali bau kriminal, langkah PKS dan PDI Per-juangan merupakan cara yang sehat mengawasi kebijakan pemerintah. Mereka menduga ada permainan di balik impor beras. Kebijakan ini juga dinilai kurang tepat karena merugikan petani. Maka, sungguh keterlaluan jika polisi memata-matai mereka. Apalagi, sebagai anggota parlemen, mereka memiliki kekebalan, tidak bisa diseret ke pengadilan karena pendapatnya dalam rapat-rapat DPR.
Si direktur intelijen jelas telah bertindak di luar kewenang-annya. Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 70/2002 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian Negara, intelijen polisi bertugas membantu operasional kepolisian dan fungsi pemerintahan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri. Upaya menyelidiki anggota parlemen tidak-lah se-suai dengan fungsi ini. Kendati sebagian politisi selama ini dianggap tidak bersih, mereka tidak sedang dibidik dalam perkara korupsi. Mereka juga bukan gerombolan teroris. Sekadar menginvestigasi kebijakan impor beras tak akan menggoyahkan keamanan negara.
Reaksi pemerintah yang cepat setelah kelancangan polisi terungkap perlu kita dihargai. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyesalkan adanya surat perintah semacam itu. Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jenderal Sutanto, juga meminta maaf. Dan akhirnya si direktur intelijen pun dicopot dari jabatannya.
Hanya, langkah-langkah itu belum cukup. Dalang dan motif di balik surat perintah penyelidikan perlu diungkap. Boleh jadi, ada pejabat pemerintah yang merasa terganggu dengan investigasi PKS dan PDI Perjuangan, lalu menc-oba memakai polisi untuk memata-matai. Bisa pula polisi di-gerakkan oleh pengusaha atau pihak yang mengeruk keuntungan dari kebijakan impor beras. Kemungkinan lain, si direktur intelijen hanya ingin menyenangkan atasannya. Agar kecurigaan tidak berkecambah, segala dugaan mesti ditelusuri serius.
Kepolisian juga perlu dibenahi agar kejadian ini tidak terulang, dan menjadi lebih berkonsentrasi pada tugas utamanya. Pekerjaan rumah polisi sudah menggunung. Sisa-sisa teroris masih bergentayangan. Bandar narkoba pun terus berkeliaran. Para koruptor yang kabur ke luar negeri juga baru satu-dua yang ditangkap. Seharusnya intelijen polisi dikerahkan kemampuannya untuk membantu membereskan tumpukan masalah ini. Tidak perlu mereka menyelinap ke dalam urusan politik, karena memata-matai politisi bisa merugikan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo