Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hermes, yang bertugas menyampaikan pesan dewa-dewa Yunani Kuno kepada manusia, konon berjalan hanya di malam hari. Ia, sang caraka, menempuh jalur dan tikungan yang sulit.
Kearifan acap datang dalam perumpamaan; Hermes adalah salah satunya. Sebuah pesan, apalagi dari yang mahajauh, tak pernah transparan. Mungkin itu sebabnya dengan latar yang gelap dan tak lurus oknum mithologi yang misterius ini tampil dalam pelbagai awatara. Hanya ada satu identitasnya yang agak tetap: ia seorang putra Zeus, raja kahyangan itu; ia lincah dalam pelbagai hal yang berhubungan dengan kata-kata.
Nama Hermes terkait dengan ermeneus, sang penafsir. Setidaknya itu yang disebut dalam rekaman percakapan Sokrates dengan Kratylos di abad ke-4 sebelum Masehi. Sokrates, sebagaimana dikutip Plato, menjelaskan bahwa sang penafsir dianggap juga sang pembawa pesan—tapi juga sang "pencuri", "pendusta", dan "tukang menawar".
Dan semua awatara itu, kata Sokrates, ada urusannya dengan bahasa. Hermes adalah si cerdik dalam hal cerita dan percakapan.
"Cerdik". "Pencuri". "Pendusta". "Tukang menawar". Dengan imaji-imaji Hermes yang hanya berjalan di malam hari itu agaknya kita diharapkan mafhum bila sebuah pesan tak pernah terjamin akan transparan dan seutuhnya lurus. Bila pesan adalah ibarat utusan dari satu pihak ke pihak lain, bentrokan bukan hal yang luar biasa.
Ada sebuah dongeng tentang asal-usul huruf Jawa yang mengisyaratkan itu. "Ha-na-ca-ra-ka…" adalah kisah tentang dua orang utusan Raja Ajisaka yang sama-sama setia, tapi akhirnya bersengketa. Yang satu diberi pesan baginda agar menjaga keris pusakanya selama ia mengembara ke tempat lain. Yang lain diberi pesan untuk mengambilnya kembali. Ajisaka yakin pesan itu punya makna yang sama: perintah yang menegaskan miliknya, titah yang harus ditaati. Tapi sang Raja keliru. Makna itu tak bisa lagi lurus ketika menempuh proses interpretasi. Kedua utusannya saling membunuh. Ajisaka ingin mencegah hal yang sama terjadi; ia bermaksud menstabilkan makna dengan mencatatnya dalam huruf hitam di atas putih.
Tapi stabilitas itu tak tercapai. Hanya mereka yang yakin bahwa manusia bisa mengandalkan rasionalitasnya yang percaya bahwa makna (karena dijaga huruf dan kata yang definitif) tak akan cair, mengalir, berubah.
Mereka salah duga. Makna lahir dalam percakapan, dan percakapan tak pernah beku.
Di sini saya akan kembali ke Sokrates. Ia, yang mengaitkan nama Hermes dengan bahasa dan juga segala sifat yang tak lurus, juga orang yang memusuhi karya manusia yang hidup dalam bahasa: puisi. Dalam Politeia, ia ingin para penyair dibuang dari negeri yang ideal.
Di satu pihak ia mengakui, puisi bisa dilihat sebagai penyalur sabda dewa-dewa ke dalam bahasa manusia; tapi di sisi lain ia menganggap puisi menyesatkan. Puisi adalah suara irasional, dan hanya intelek (nous) yang mampu menangkap kebenaran.
Tapi jika Sokrates benar mengenai Hermes, ia salah menduga bahwa kebenaran hanya tersingkap secara demikian—dan bahwa puisi mendistorsikan komunikasi. Bahasa bukan cul-de-sac, bukan sebuah tabung yang terbuka di pangkal dan tertutup di ujungnya. Bahasa adalah sebuah proses tanpa ujung, tanpa tutup—dan sesungguhnya ke dalamnya selalu hadir apa yang diam.
Berabad-abad kemudian sejak Plato dan Sokrates, setelah sejarah mengajarkan banyak kekecewaan dan harapan dalam komunikasi manusia, kita bisa berbicara tentang bahasa justru dengan berpegang pada puisi: ketika ke dalam diri kita sebuah sajak Rendra bisa mengungkapkan secercah makna, kita mengalaminya seperti ketika kita bertemu dengan sebuah karya Rusli atau S. Teddy. Sebuah keseluruhan makna terjadi tanpa karya itu mengekspresikannya seluruhnya, dengan garis, warna, kata. "Tiap patah kata," kata Gadamer, "sebagai sebuah kejadian di suatu saat, membawa serta apa yang tak dikatakan." Ke dalam apa yang tak dikatakan itu kata menjawab dan juga menyeru.
Seperti dalam Stanza Rendra ini:
Ada burung dua, jantan dan betina
Hinggap di dahan
Ada daun, tidak jantan tidak betina
Gugur dari dahan
Ada angin dan kapuk randu, dua-dua sudah tua
Pergi ke selatan
Ada burung, daun, kapuk, angin, dan mungkin juga debu
Mengendap dalam nyanyiku
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo