Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ceroboh betul Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mempersiapkan materi ujian nasional. Nyelonong-nya soal tentang Gubernur DKI Joko Widodo, yang sedang mencalonkan diri menjadi presiden, di lembar ujian nasional sekolah menengah atas beberapa waktu lalu, merupakan bukti keteledoran itu. Kecerobohan serupa, yang dampak psikologisnya bisa lebih fatal pada anak, terulang dalam ujian nasional sekolah menengah pertama.
Apa relevansinya, misalnya, menyebutkan Jokowi sebagai tokoh paling bersih dari korupsi untuk soal bahasa Indonesia tingkat SMA? Badan Standar Nasional Pendidikan, yang bertanggung jawab mengawasi pembuatan soal, seharusnya paham nama-nama tokoh politik, apalagi yang tengah berkompetisi dalam musim pemilu tahun ini, akan mengakibatkan bias dan karena itu tidak boleh dijadikan materi ujian. Lembaga di Kementerian Pendidikan ini semestinya punya mekanisme audit terhadap soal-soal sensitif seperti ini.
Memang Menteri Pendidikan Mohammad Nuh sudah meminta maaf. Ia juga berjanji ujian nasional SMP akan bersih dari nama tokoh politik. Tapi "pembersihan" nama Jokowi dari lembar pertanyaan itu justru berakibat kesemrawutan ujian bahasa Indonesia SMP. Ribuan siswa kebingungan. Federasi Serikat Guru Indonesia mencatat banyak keluhan dari berbagai daerah, banyak anak dilaporkan menangis seusai ujian.
Di Bandung, misalnya, soal bertema Jokowi masih ditemukan di beberapa nomor. Guru pengawas mengganti soal itu dengan lembar soal baru. Di Bengkulu, beberapa nomor soal diblok putih dan ditempeli soal yang baru. Di Bogor, soal nomor 13 dan 14 lenyap, padahal di lembar jawaban ada nomor 13 dan 14.
Di Jakarta dan sekitarnya, petunjuk yang disodorkan ke siswa lebih runyam. Mereka diminta mengerjakan sejumlah soal dari naskah yang "tidak bersampul" dan nomor-nomor yang lain dari naskah "bersampul". Perintah ini semakin sulit dimengerti dengan ketentuan bila ada nomor soal yang sama "antara naskah bercover dan naskah tak bercover, maka yang dikerjakan hanya soal dari naskah yang tak bersampul". Satu lagi yang membingungkan: setelah selesai, siswa diminta memasukkan naskah yang "bernomor" ke dalam naskah yang "tak bernomor".
Jangankan anak, manusia dewasa saja kesulitan mencerna petunjuk pengerjaan soal yang ruwet itu. Apa itu "bersampul" dan "tidak bersampul", juga "bernomor" dan "tak bernomor"? Mengapa pula membedakan "bersampul" dengan "bercover"? Apa pula pentingnya pembuat soal bahasa Indonesia ini menyebutkan kata "bercover", yang sesungguhnya bukan merupakan bahasa Indonesia. Di mana pula logika "memasukkan naskah ke dalam naskah"?
Perintah membingungkan ini mustahil bisa dipahami anak jika guru pengawas tak memandu siswa. Di banyak sekolah, guru-guru, yang hanya diperbolehkan membuka soal saat berlangsung ujian, cukup lama memahami perintah itu. Di beberapa sekolah, ada guru yang salah memahami perintah. Bahkan ada pula siswa yang dibiarkan tanpa panduan. Kecerobohan begini bukan mustahil mengakibatkan siswa gagal lulus ujian.
Bisa dibayangkan betapa terpukulnya siswa yang telah berbulan-bulan belajar tapi harus menyerah hanya lantaran perintah soal yang sebenarnya bisa dibuat sederhana itu. Kepentingan siswa telah dikalahkan semangat menghapus nama tokoh politik dalam soal, yang sialnya dilakukan secara serampangan. Selain meminta maaf, seharusnya Kementerian memikirkan hal yang lebih penting: memilih tindakan tepat untuk "membayar" keteledoran yang sangat merugikan siswa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo