Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SIAPAKAH Kartini? Kita mengenalnya sebagai seorang tokoh sejarah dari surat-suratnya—sehimpun rekaman pikiran yang mengagumkan, menyentuh, kadang-kadang membingungkan, dan selamanya berbicara tentang cita-cita dan dunianya. Tapi dapatkah kita menyimpulkan “siapa” dia?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kartini menulis berpuluh-puluh surat kepada sahabat dan kenalannya, yang disiarkan setelah ia wafat. Surat pribadi memang bisa jadi kunci masuk ke dalam diri seseorang, tapi surat untuk seorang sahabat karib sekalipun tak sama dengan catatan harian. Sebuah surat ditulis dengan kesadaran akan ada orang lain yang akan membacanya. Catatan harian tidak; ia semacam monolog. Sebuah surat, yang selamanya ditujukan kepada orang lain, meniscayakan peran persona: sosok yang mewakili “aku” sebagai respons terhadap kehadiran orang lain dengan siapa aku berbicara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Persona selalu sebuah proses. Dalam proses itu, seseorang mau tak mau menggunakan bahasa. Banyak kemungkinan yang tak tertebak terjadi. Apalagi dalam surat-menyurat di antara dua orang yang tak cuma dipisahkan jarak geografis, tapi juga sejarah—sebab selalu ada elemen sejarah dalam bahasa yang dipakai.
Walhasil, perlu waktu untuk mencoba mengomunikasikan makna yang pas. Perlu waktu untuk menentukan sifat hubungan yang terjadi dan akan terjadi, ketika identitas kita diwakili persona itu di depan interlokutor kita.
“Panggil aku Kartini saja”, tulis Kartini kepada Stella Zeehandelaar, sahabat-penanya yang tak pernah ia lihat dan tak pernah melihatnya.
Pramoedya Ananta Toer menulis tentang Kartini dengan judul yang memakai kalimat itu. Jika Pramoedya ingin menunjukkan sikap egaliter putri Bupati Jepara di akhir abad ke-19 itu, ia keliru.
“Panggil-aku-Kartini-saja” bukan ungkapan sikap demokratis yang radikal dari Kartini. Sang putri bupati tak sedang berbicara kepada seorang tukang kebun dan meminta agar tak dipanggil “ndoro”. Kartini berbicara dengan seorang perempuan terpelajar Belanda yang lima tahun lebih tua, yang dianggap “punya perhatian tentang zaman modern”; ia anggota Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda.
Tak terbayangkan Kartini akan meminta Stella memanggil dirinya dengan Raden Ajeng atau sejenisnya. “Kartini-saja” adalah sebuah persona—identitas yang dipilih, dan berkembang, sebagai hasil proses adaptasi dalam dialog dengan orang asing nun di Amsterdam itu.
Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku, dan “Raden Ajeng”, dua kata ini menunjukkan gelar. Ketika aku memberikan alamatku, tentu aku tidak bisa hanya menulis Kartini, bukan? Hal ini pasti akan mereka anggap aneh di Belanda, sedang untuk menulis jeffrouw (nona) atau sejenisnya di depan namaku, wah, aku tidak berhak untuk itu—aku hanyalah orang Jawa.
Dalam surat 24 Mei 1899 itu tampak usaha Kartini menemukan cara yang pas untuk berkomunikasi. Untuk itu ia harus mengatasi jebakan bahasa.
Bahasa, kata Roland Barthes dengan sedikit berlebihan, adalah “fasis”, simplement fasciste. Bahasa memaksa orang berbicara—dan berbicara dengan tata tertentu. Dalam tata yang terbentuk masyarakat feodal dan kolonial, ruang ekspresi seorang gadis Jawa tak amat leluasa. “Panggil-aku-Kartini-saja”—dan gayanya menulis—adalah caranya bernavigasi dalam celah terbatas itu.
Maka yang menarik dalam surat-surat Kartini bukan hanya isinya, tapi juga ekspresinya.
Bahasa Kartini, bahasa seorang berusia 20-an, seperti badai, meskipun tak segera kelihatan. Tak linear, tak datar. Ungkapan hiperbolik muncul di pelbagai bagian, terutama ketika ia menyebut sesuatu (atau seseorang) yang disukainya. Tanda seru bertaburan.
Ia memang lebih seorang penulis sastra yang ekspresif ketimbang penyusun ide. Surat-suratnya lahir dari sebuah “proses mimetik”: aku seakan-akan meresap ke dalam dunia Stella, dan Stella seakan-akan meresap ke dalam duniaku. Di suatu saat Kartini menyebut pesisir Jepara sebagai “Scheveningen Kecil”, seolah-olah tepi Laut Jawa itu satu versi dari pantai di Holland Selatan itu. Di saat lain ia dengan memukau menceritakan suasana senja di pendopo kabupaten, seakan-akan Stella ada di sana. “Gamelan…yang ada di pendopo itu bisa bercerita padamu lebih banyak dari padaku.”
Dengan demikian, “siapa gerangan Kartini” memang selalu tak punya jawab yang final.
Entah, begitu jugakah halnya pada Stella. Ada lubang besar dalam korespondensi yang bersejarah itu: tak ditemukan kumpulan suratnya kepada Kartini.
Kita tak tahu bagaimana persona Stella yang muncul selama dialog dengan sahabat-penanya di Jawa itu. Kita hanya bisa menduga: Stella tampil sebagai penyokong yang meyakinkan tentang “kemajuan” dan modernitas. Ia bisa tunjukkan dunia baru di Barat yang membebaskan pèrempuan. Yang dikatakannya tentang poligami pasti negatif, sebab Kartini membalas “aku sendiri membenci, menganggap rendah” perkawinan seperti itu.
Yang menarik adalah apa yang tidak dikatakan Kartini kepada Stella: bahwa ia, Kartini, adalah buah sebuah poligami. Ibu kandungnya istri kedua Bupati Jepara.
Tampak ambivalensi dalam persahabatan ini. Kartini pernah seakan-akan membentak, dengan defensif, dalam surat bertanggal 23 Agustus: “…jangan pernah mengatakan kalau orang Jawa tidak punya hati.” Kalaupun kata-kata itu tak ditujukan kepada Stella, cetusan itu bagian dari kesadaran tentang jurang yang memisahkan dua benua. Pada 6 November 1899, Kartini sudah menulis, “Betapapun lamanya orang Eropa tinggal di sini… mereka tak akan pernah tahu benar-benar hal yang ada di Jawa seperti kami.”
Ketika modernitas datang bersama kolonialisme, kesadaran akan emansipasi memang terbelah. Di retakan itulah Kartini hidup. Maka sering diragukan siapa gerangan dia: pelopor yang perkasa atau bukan?
Tapi sejarah bernilai bukan hanya sebagai kisah para pemenang. Kartini menunjukkan bagaimana kolonialisme dan feodalisme meringkusnya, membelahnya. Ia wafat di usia 25.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo