Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
19 Maret 1962, perang Aljazair berakhir. Lewat konflik bersenjata yang ganas selama hampir delapan tahun itu, Aljazair berdiri sebagai republik yang merdeka. Prancis--dengan marah dan susah payah--melepaskan wilayah Afrika Utara yang dijajahnya sejak 1830 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi masa lalu tak berhenti. Tiap kali, kita luput menangkapnya kembali dalam ingatan. Memang, kita punya buku sejarah dan menganggap di sanalah masa lalu direkam sebagai ingatan. Tapi ingatan adalah produk hari ini, dan hari ini bukanlah sebuah stasiun tempat kenangan jeda, tak berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebab itu kita sering mencoba mengenang dengan cara lain.
Tiap kali perang kemerdekaan Aljazair disebut kembali, tiap kali La guerre d’Algérie (“Perang Aljazair”) dibaca lagi, sebagian atau seluruhnya. Karya Jules Roy yang terbit di tahun 1960 ini dalam deretan karya sastra Prancis terkemuka: gabungan memoar dengan pernyataan politik, gugatan yang menusuk tanpa mengaum--buku pertama yang menyebut yang terjadi di Aljazair itu “perang”, bukan penegakan keamanan.
Yang istimewa: Roy, seorang pied-noir--orang kulit putih yang lahir di tahun 1907 di Aljazair--tak memihak kaumnya. Ia memihak perjuangan kemerdekaan penduduk indigènes.
Ia sebenarnya juga bisa disebut “pribumi”. Ia lahir di Rovigo (sekarang “Bougara”) di tanah pertanian milik keluarga ibunya, di Desa Sidi Moussa. Pada umur 11, ia masuk sekolah seminari dengan niat jadi pastor. Tapi, sejak umur 20, ia hidup dalam pasukan infanteri Prancis, lalu bergabung dengan regu penerbang. Ketika Hitler menduduki Prancis di tahun 1940, ia hijrah ke Inggris. Dari sana ia menerbangkan pesawat RAF untuk mengebom Jerman.
Tapi, di tahun 1953, ia berhenti dari dinas ketentaraan dengan pangkat kolonel. Ketika Prancis mencoba memadamkan perlawanan rakyat Vietnam, ia saksikan bom napalm digunakan membasmi pedusunan dan petani ditangkapi dan disiksa.
Kolonel itu memprotes. Tampaknya ada yang lebih kuat dalam dirinya ketimbang loyalitasnya kepada Prancis.
“Aku harus bisa mencintai negeriku dan tetap mencintai keadilan. Aku tak hanya menginginkannya jadi negeri besar--khususnya besar oleh darah dan dusta.”
Itu bukan kata-katanya, tentu. Itu kata-kata Albert Camus di tahun 1940-an. Terbit di surat kabar gelap Combat, teks itu--surat untuk “seorang teman Jerman”--sebuah salam perseteruan. Ketika itu Camus aktif dalam gerakan di bawah tanah melawan pendudukan tentara Hitler di Prancis. Saya tak tahu apakah Roy membaca teks yang termasyhur itu. Yang saya tahu, Camus, bagi Roy, adalah teman dan guru yang ia kagumi.
“Camus membuka mataku,” kata Roy dalam wawancaranya di tahun 1998. Waktu itu ia berbicara tentang Aljazair, tanah tumpah darah mereka berdua. Camus “membuatku mengerti bahwa warga Arab juga manusia”.
Itu perubahan sikap yang radikal, yang dua dasawarsa kemudian membuatnya tak bisa memusuhi penduduk Arab dalam Perang Aljazair. Di antara 11 buku esai Roy, kita dapatkan Autour de drame. Dalam buku yang terbit di masa perang itu ia berkata kepada kaum colon, penduduk yang topang-menopang dengan kolonialisme: “Aneh, kalian hidup di dekat mereka, tanpa berpikir dalam diri mereka kalian bukanlah musuh, melainkan saudara.”
Itulah kecaman Roy atas sikap kaumnya, sikap keluarganya sendiri, yang menganggap “mereka”, “yang-lain”, sepenuhnya di luar, tak perlu diperhitungkan.
Di masa kecilnya, ia ingat, orang Arab tak disebut “raton”, melainkan “pokok kurma”, les troncs de figuier, karena mereka suka duduk di kaki pohon itu. Kemudian disebut bicot.
Bicot bukan sesama. Itu panggilan menghina untuk penduduk asli.
Juga “pokok kurma”. Roy takjub ketika tahu “pokok kurma” itu bisa ketawa, menangis, mampu membenci atau mencinta, cemburu atau berterima kasih--seperti dirinya. Padahal, bagi kaum pied-noir, orang Arab itu ras yang berbeda: “Mereka hidup tak seperti kita”.
Ia kemudian sadar kalimat itu menutupi-nutupi sesuatu yang penting di Aljazair: penduduk Arab dan kemelaratannya.
....kenestapaan yang meluas… dilihat sebagai sikap tak mau tidur di ranjang, tak mau makan makanan sebaik kita, tak hendak tinggal di rumah yang dibangun kukuh dan beratap. Kebahagiaan mereka... ada di tempat lain, agak mirip hewan di ladang... seperti, maaf, lembu jantan yang kita perlakukan dengan baik tapi tak menimbulkan belas.
Begitu dalam jurang di Aljazair yang digali kolonialisme.…
Akhirnya jurang itu jadi kawah pertempuran yang bengis. Selama lebih dari tujuh tahun, diperkirakan 150 ribu pejuang Aljazair dan 25 ribu tentara Prancis tewas. Penyiksaan terhadap tahanan dan orang sipil jadi lumrah, terutama oleh OAS, organisasi rahasia militer Prancis. Perang pun menjalar dengan teror--juga di antara kalangan Aljazair sendiri--dan bom masuk ke kota-kota Prancis.
Seruan ke jalan damai tak bersambut. Perang Aljazair jadi bukti bahwa kekerasan menghasilkan kemerdekaan, sementara harapan Roy tentang persaudaraan tak meyakinkan. Juga seruan moderasi Camus gagal karena tak disertai pembelaan buat kemerdekaan mereka yang terjajah.
Orang pun yakin bahwa sejarah, untuk memakai kata-kata Hegel, adalah “bangku penyembelihan”, Schlachtbank: banyak hal dan banyak nyawa dikorbankan dalam proses, sebelum pada gilirannya cita-cita terpenuhi.
Harapan baik kepada kekerasan ini yang agaknya jadi benih gelap yang tumbuh setelah Aljazair merdeka: teror untuk Tuhan dan surga, kontra-teror untuk stabilitas dan hidup sejahtera. Aljazair mengalami keduanya dengan pedih. Juga hampir seluruh Timur Tengah yang ditegakkan melalui darah dan besi.
Sartre pernah mengatakan, kekerasan, seperti tombak Achilles, dapat menyembuhkan luka yang ditorehnya. Saya ragu. Di abad ke-21, tombak itu penuh racun: kebencian, paranoia, putus asa. Perang Aljazair sudah berakhir setengah abad yang lalu, tapi bangku penyembelihan terus sibuk dan menakutkan.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo