Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua belas bulan pandemi Covid-19 bersama kita. Selama setahun ini, hampir setiap hari kita membaca obituari dari banyak orang terkasih yang tak kuat menghadapi Covid-19. Mula-mula saya tak memperhatikan hal ini. Tapi, ketika berita duka datang setiap hari, saya tak bisa menghindar dan mulai terpukul. Dari mereka yang tak bisa bertahan lagi, ada saja orang yang saya kenal: kawan sekolah, rekan di organisasi, mitra bisnis, anggota keluarga.
Pandemi Covid-19 telah menjadi pembunuh ganas yang tak kelihatan. Dia menyerang semua lapisan masyarakat, melewati batas negara, tanpa terkecuali. Wabah penyakit ini masuk melalui berbagai partikel yang tak terlihat. Walhasil, ada banyak jalan menghindar, tapi banyak juga jalan untuk tertular.
Berapa banyak orang di sekitar kita yang bisa terus-menerus mengenakan masker, mencuci tangan, menjaga jarak? Risiko tertular kian berlipat ganda di negara yang penduduknya berlimpah tapi tak berdisiplin dan tak ditopang jaring pengaman sosial yang memadai. Akibatnya, virus corona terus berpindah dari satu orang ke orang lain, menyebar, dan nyaris mustahil dilacak. Apalagi ketika pemeriksaan, penelusuran kontak, dan perawatan (testing, tracing, and treatment) tak sepenuhnya berfungsi, wabah terus membesar menjadi malapetaka.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), jumlah orang terinfeksi Covid-19 sampai 20 Maret 2021 sebanyak 122 juta di seluruh dunia, sementara yang meninggal mencapai 2,69 juta orang. Angka yang sangat besar. Di Indonesia, angka terinfeksi mencapai 1,45 juta, sementara yang meninggal hampir 40 ribu orang. Tak mengherankan, kalau saya membaca nama-nama korban hampir setiap hari, ada saja yang saya kenal—kadang satu orang, kadang lebih.
Berita duka ini menciutkan hati saya dan tentu juga banyak orang yang kehilangan. Tak jarang saya termangu membaca berita duka yang silih berganti datang. Pandemi Covid-19 juga menjauhkan jarak fisik dari hubungan antarmanusia. Orang digiring untuk sendiri, tak bisa bersosialisasi dan makin jauh dari keramaian. Sendi-sendi sosial dirobohkan.
Pandemi Covid-19 jelas memukul ekonomi. Hampir semua negara pada 2020 mengalami kontraksi ekonomi. Hanya Cina yang masih bisa bertumbuh positif. Para pemimpin negara harus mengayuh di antara dua karang: di satu sisi melawan pandemi, sementara di sisi lain berjuang memulihkan perekonomian. Pilihannya bukanlah salah satu, either-or, tapi harus dua-duanya. Ketika perekonomian negara defisit, program penanggulangan Covid-19 dan upaya memulihkan ekonomi menjadi makin muskil. Ketika ekonomi tak bergerak, penarikan pajak dan bea lain pun terhenti. Apalagi investasi merosot dan perdagangan anjlok. Semua harga barang pun jatuh, termasuk properti dan produk otomotif. Pariwisata nyaris tutup. Tapi negara tentu tak boleh berhenti.
Di sinilah banyak negara memilih mendeklarasikan “keadaan darurat”. Dalam kondisi semacam itu, pengambil kebijakan negara berharap bisa mengambil keputusan strategis dengan cepat. Kekuasaan pun dipusatkan agar negara bisa memperoleh ruang—untuk dan atas nama rakyat—guna mengambil langkah-langkah drastis menyelamatkan situasi.
Itulah sebenarnya ongkos yang kita keluarkan untuk menangani pandemi ini. Demokrasi secara keseluruhan mengalami kemunduran. Democracy Index 2020 yang dikeluarkan The Economist Intelligence Unit mengkonfirmasi hal ini. Skor rata-rata indeks demokrasi global 2020 turun menjadi 5,37 dari 5,44 pada tahun sebelumnya. Penurunan ini adalah yang terburuk sejak pertama kali Democracy Index dirilis pada 2006.
Indeks demokrasi itu menilai lima kategori: proses elektoral dan pluralisme, derajat berfungsinya pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, serta kebebasan sipil (civil liberties). Dalam setiap kategori, ada rentang penilaian 0-10 dengan 0 sebagai nilai paling buruk dan 10 paling baik. Berdasarkan skor tersebut, negara-negara dikelompokkan menjadi empat peringkat: full democracies, flawed democracies, hybrid regimes, dan authoritarian regimes. Indonesia dinilai masuk kelompok kedua, yakni flawed democracies, sama dengan Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura.
Dengan kata lain: pandemi Covid-19 telah menggerus demokrasi. Ada kemunduran yang sebagian disetujui rakyatnya, tapi banyak juga yang hanya disetujui pemerintahnya. Dalam semua kategori, kita melihat proses kemerosotan yang memprihatinkan. Kecemasan akan Covid-19 membuat mayoritas warga rela menyerahkan kebebasannya kepada negara. Mereka bersedia tak bepergian, dikarantina, tak ke kantor, tak merayakan Idul Fitri atau Natal, dan sebagainya. Dari sisi negara, pandemi memaksa pemerintah mengkonsentrasikan sumber daya untuk menghalau wabah dengan biaya berapa pun (at all cost). Etiskah tindakan itu?
Harus diakui, banyak negara yang baru keluar dari sistem otoritarian cenderung menggunakan pemberantasan pandemi Covid-19 sebagai alasan pembenar untuk memperkuat posisi penguasa. Dengan atau tanpa pemberlakuan kondisi darurat alias “emergency”, mereka menumpuk semua kekuasaan, melumpuhkan oposisi, menekan pers bebas, menyingkirkan organisasi kemasyarakatan sipil, serta mengendalikan parlemen dan peradilan. Pada saat yang sama, mereka juga mengontrol semua pengadaan, termasuk pengadaan alat kesehatan dan vaksin.
Bahkan negara demokrasi kawakan seperti Amerika Serikat pun hampir tergelincir ke jurang pemerintahan otoriter di masa kepemimpinan Donald Trump. Ketika itu, konsep seperti transparansi dan akuntabilitas tiba-tiba hilang dari kosakata yang selama ini sering mereka ucapkan. Bahkan konsep tata kelola yang baik atau “governance” juga kini harus ditafsirkan dalam bingkai perang melawan pandemi, dengan semua negasi yang harus terjadi. Ironisnya, semua ini sukar diprotes karena setiap protes cenderung akan ditafsirkan sebagai sikap tak solider terhadap kerja besar memerangi pandemi Covid-19.
Walhasil, proses perapuhan demokrasi menjadi tak terhindarkan. Banyak negara yang kita kenal sebagai negara demokrasi tiba-tiba tak sanggup memanggul demokrasi. Tiba-tiba kita melihat fenomena “fragile states” muncul kembali. Dari seluruh dunia, kita membaca berita tentang pemimpin oposisi yang dipenjarakan, buruh yang terbelenggu, wartawan yang ditembak, dan aktivis mahasiswa yang diusir.
Semua itu membuat kita sulit untuk tak bersuara. Tapi bahkan untuk bersuara pun kita dibayangi ketakutan. Rekam jejak digital seseorang kini dengan mudah bisa dibongkar untuk membunuh karakter mereka. Data pribadi kita sudah berada di tangan korporasi media sosial atau negara. Sekarang mereka yang berani bersuara berbeda bisa dikejar-kejar pasukan digital penguasa—semacam profesi baru yang kini muncul di mana-mana di dunia.
Pasukan digital ini telah ikut membunuh demokrasi, menimbulkan ketakutan. Mereka piawai memutarbalikkan narasi; membuat hoaks, kabar kibul, disinformasi; dan membungkam suara berbeda. Tak mengherankan jika banyak yang berhenti melawan. Banyak yang berhenti bersuara. Banyak yang memilih diam. Rupanya, pandemi Covid-19 tidak hanya membuat manusia takut mati, tapi juga takut bersuara beda. Ini terjadi di mana-mana.
Masa depan kita akan kelabu kalau ketakutan menguasai. Sebab, setelah ketakutan, akan datang keputusasaan. Orang menyerah. Kita tak boleh sampai ke situasi itu. Karena itu, ketakutan mesti dilawan kalau kebenaran mau menang. Franklin Delano Roosevelt benar ketika pada 1933 dia mengatakan bahwa “the only thing we have to fear is fear itself”.
Walhasil, dunia sedang dihadapkan pada hari-hari yang sulit. Meski kini secercah harapan muncul dengan adanya vaksinasi, butuh waktu panjang sebelum dampak vaksin terasa di seluruh dunia. Apalagi keterbatasan jumlah vaksin dan gejala nasionalisme vaksin justru menghambat penyaluran dan pembagian vaksin yang merata dan adil. Setidaknya masih dibutuhkan waktu dua-tiga tahun sebelum semua orang—terutama di negara-negara miskin—memperoleh kesempatan divaksin.
Pertanyaan yang kerap muncul adalah, jika wabah ini kelak berakhir, apakah kita akan kembali ke situasi normal sebelum ada pandemi? Apakah pemerintah yang telanjur menumpuk kekuasaan dengan semua kebijakan antidemokrasinya akan rela mengembalikan kekuasaan? Apakah demokrasi akan pulih?
Sulit memberikan jawaban pasti. Namun sejarah membuktikan selalu ada kekuatan masyarakat sipil yang bangkit menegakkan kembali pilar-pilar demokrasi. Mungkin kelak kita akan dikejutkan oleh munculnya kekuatan dan sosok yang memobilisasi gerakan prodemokrasi. Jika itu terjadi, dahaga publik akan terpuaskan bak seseorang yang di tengah keterengah-engahan mendapat air kelapa muda dingin yang menyejukkan. Tapi bagaimana kalau itu tak terjadi? Apakah kita harus menulis obituari untuk matinya demokrasi?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo