Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NUR HADI*
PUBLIK telah mengenalnya sebagai bahasa gaul. Bahasa ini muncul secara konstan dari (kebanyakan) kalangan anak muda. Saya bilang konstan lantaran, dalam setiap periode, selalu muncul kata/frasa baru untuk mengganti kata/frasa lama/kurang dikenal dengan berbagai motif. Tumbuhnya berbagai komunitas sosial, perubahan teknologi, dan makin intensifnya proses komunikasi dalam wadah globalisasi menyebabkan individu mau tak mau menjadikan bahasa sebagai obyek yang dinamis. Penelitian William Labov (1966)—yang kemudian menjadi dasar ilmu linguistik—menunjukkan hal itu, bahwa seseorang dari kelas sosial tertentu akan menggunakan variasi (ragam bahasa) bentuk tertentu.
Sebut saja kata rempong, santuy, kepo, lo, gue, ngangenin (dan semua kata yang mendapat sufiks “-in”), serta masih banyak yang lain. Meski model bahasa ini kerap dituding bisa merusak, bahkan melunturkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia, harus diakui mereka telah memiliki kelompok penutur tersendiri. Dalam ranah bahasa tulis pun, misalnya, karya fiksi yang memakai medium bahasa gaul selalu mendapat stempel sebagai karya kelas kesekian, medioker, dan dianggap tak memiliki kadar literer. Padahal ada pula karya dari genre ini yang mampu menyuguhkan makna kedua-ketiga sebagaimana karya-karya sastra arus utama lain.
Ada banyak motif mengapa orang senang memakai bahasa gaul. Kepraktisannya menjadikan penutur tak perlu repot menyusun kata-kata baku agar terdengar luwes dan enak didengar tanpa salah secara gramatikal. Namun kadang ada kalanya ia menyalahi aturan gramatikal lantaran menitikberatkan pada fungsi tuturan saja. Alih kode yang kadang digunakan secara serampangan juga sering kita jumpai dalam model bahasa ini. Persinggungan intensif dengan bahasa asing menjadikan penutur kadang memilih bahasa asing yang dirasa lebih singkat, simpel, tepat makna, dan terkesan lebih intelek atau keren. Frasa atau kata yang dirasa lucu dan mudah diingat juga mendorong orang menggunakan dan mempopulerkannya ketimbang memakai kata yang sulit diingat dan susah dilafalkan.
Jika kita mau menoleh ke belakang, sebenarnya stigma terhadap bahasa gaul sebagai ragam bahasa rendah tak perlu terjadi. Kekreatifan mereka dalam menciptakan kata atau frasa baru yang tak terbendung seharusnya bisa dipandang sebagai potensi pemerkaya bahasa nasional sebagaimana bahasa-bahasa lokal turut menyumbang kekayaan bahasa nasional. Dalam posisinya, sebenarnya ia bisa disamakan dengan bahasa lokal atau bahasa entitas budaya tertentu. Bahasa gaul mewakili lokalitas kaum muda yang tidak acuh terhadap tata baku kebahasaan. Sebagaimana kelompok transgender atau kelompok copet yang mempunyai ragam bahasa tersendiri dalam berkomunikasi.
Ketidakacuhan tersebut tentu saja tanpa maksud merendahkan bahasa nasional. Ada banyak faktor yang membuat mereka tidak acuh. Pertama, lingkungan sosial. Individu yang lahir dan besar di tengah masyarakat silang budaya akan cenderung lebih banyak menerima beraneka ragam bahasa. Kedua, sistem pendidikan yang belum mendukung pensosialisasian penggunaan bahasa nasional dengan baik dan benar—baik dalam bahasa tutur maupun tulis. Ketiga, teknologi. Era globalisasi menyebabkan banyak sistem berubah drastis, dari sistem komunikasi sampai ekonomi, sehingga mendorong tiap individu makin bebas berinteraksi dengan individu dari entitas budaya lain. Individu yang lemah dalam ideologi kebangsaan (baca juga: kebahasaan) akan mudah terpengaruh ideologi lain.
Pada 1938, ketika diadakan kongres bahasa Indonesia untuk pertama kalinya di Solo, Jawa Tengah, telah ada sinyal-sinyal yang disepakati bersama untuk mengambil kata-kata serapan demi pengembangan ilmu pengetahuan. Juga ada kesepakatan dalam hal pembaruan ejaan, pengembangan istilah-istilah, dan penyusunan tata bahasa baru sesuai dengan perkembangan bahasa Indonesia yang telah disepakati sebagai bahasa resmi. Jika telah ada kesepakatan perihal bahasa resmi—dan telah mendapatkan kedudukan dalam hukum—semestinya tak perlu ada ketakutan akan perusakan oleh ragam bahasa lain. Poin-poin ini juga kerap dikukuhkan dalam kongres-kongres bahasa selanjutnya.
Pada 25-28 Februari 1975 juga telah ditekankan lagi dalam Seminar Politik Bahasa Nasional yang diselenggarakan di Jakarta. Kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia masih tak tergantikan. Kebijaksanaan yang berisi perencanaan, pengarahan, dan ketentuan pengolahan masalah kebahasaan juga telah dirumuskan. Jika ragam bahasa lokal (daerah) dan bahasa asing bisa diterima sebagai pendukung pengembangan dan pertumbuhan bahasa nasional, mengapa tidak dengan ragam bahasa gaul yang justru lebih dinamis?
Kedinamisan kaum muda dalam menerima budaya luar sering dicurigai sebagai biang pengeroposan budaya dalam negeri, termasuk di dalamnya soal bahasa nasional. Padahal adanya banyak jenis bahasa gaul yang berasal dari banyak bidang menandakan kaum muda tak berkutat dalam hal hedonis semata.
Masuknya budaya K-pop, misalnya, membuat banyak pemuda mempelajari budaya Korea—termasuk bahasa. Pemaksaan untuk mengalihkan kecondongan individu kepada obyek lain hanya akan menimbulkan konflik yang seharusnya bisa dicarikan jalan keluar. Jika K-pop mampu memengaruhi kelompok muda untuk kemudian mempelajari berbagai variabel di sekelilingnya, mengapa kita tidak bisa menirunya?
*) PENULIS CERITA PENDEK DAN PUISI, AKTIF DI AKADEMI MENULIS JEPARA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo