Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMATIAN berubah di Firenze di abad ke-14. Wabah menjarah kota Italia yang makmur itu seperti pasukan asing yang melampiaskan dendam. Orang mati tiap hari. Di pagi hari di depan rumah penduduk akan tampak jenazah yang belum sempat diangkut para becchini, penggali kubur, yang tak henti-hentinya bekerja. Makam penuh. Seorang pencatat sejarah lokal menggambarkan puluhan jasad yang bertumpuk di liang lahad itu “seperti lapisan demi lapisan keju di atas lasanye”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pes itu memang pembunuh cepat. Sekitar 8.000 anak sekolah, 30 ribu pemintal wool, 600 notaris dan advokat, 60 dokter, dan 140 padri masuk daftar mereka yang mati. Akhirnya dicatat 50 ribu penduduk Firenze punah (dan itu berarti angka mortalitas di atas 50 persen) selama dua musim di tahun 1344.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pelan-pelan, sisa kota terdiam. Lonceng gereja tak lagi dibunyikan; dentangnya membuat ngeri orang-orang yang sakit. Misa tak ada lagi. Wabah memecah bangunan sosial jadi benteng-benteng kecil tempat berlindung. Persentuhan berarti penularan. Bahkan ada ayah-ibu yang tak mau merawat anak mereka yang terserang pes dan hampir mati. Berkabung jadi kesunyian masing-masing.
Kematian berubah di Firenze: mati tak hanya berarti meninggal, tapi ditinggal. Rumah kehilangan arti. Dalam kekuasaan Maut, hidup seperti pengungsian.
Tapi sebuah pengungsian tak pernah jadi keadaan normal yang baru. Juga di kota tua ini, Maut tak bisa mutlak. Di sana-sini manusia menemukan jalan untuk berkelit dari jangkauannya. Dengan imajinasi yang setengah nekat setengah gentar, manusia menciptakan alternatif.
Decameron adalah salah satunya. Giovanni Boccaccio (1313-1375) menggubah karya yang kemudian termasyhur itu setelah wabah Firenze. Tapi kita bisa melihatnya sebagai pembebasan imajiner dari teror epidemi dan kematian. Novel ini (kalaupun bisa disebut “novel’) menyambut kegairahan hidup dengan tak merasa berdosa.
Ceritanya dimulai dengan reportase yang suram tentang wabah dan kematian di Firenze. Tapi, segera sesudah itu, adegan berubah: syahdan, di sebuah gereja, tujuh perempuan muda bertemu....
Mereka bosan. Salah seorang dari mereka, Pampinea, berkata, “Kita di sini tak melakukan apa-apa... selain menghitung-hitung mayat yang dikuburkan.” Lebih baik, katanya pula, “Kita pergi dan tinggal di salah satu vila kita di pedalaman.” Di sana ada burung-burung, bukit-bukit hijau, dan ladang jagung yang seperti laut.
Dengan kata lain, alam yang telanjang, sebagai antitesis bagi kematian—khususnya kematian yang bukan lagi jalan ke keabadian, melainkan jurang yang terisolir. Dengan alam yang terbuka, dengan manusia yang tak ditutupi pelbagai lapisan, hidup lebih terasa berharga.
Gadis-gadis itu pun menuju pedalaman, ditemani tiga pemuda. Di vila tempat mereka mengkarantina diri, mereka mengisi hari secara rutin. Di waktu pagi dan senja, mereka berjalan-jalan, menyanyi, dan makan dan minum anggur yang lezat. Di antara itu, mereka duduk bersama. Tiap orang membawakan kisah yang themanya disepakati: hari ini tentang kedermawanan, esok jiwa besar, lusa kepintaran, dan seterusnya, untuk 10 hari. Akhirnya ada 100 cerita: Decameron.
Tapi thema di sana sebenarnya tak penting. Setidaknya tak ada batas dalam cerita-cerita itu. Kita baca misalnya satu kisah yang membuat Decameron berabad-abad dianggap kitab cabul: cerita Rustico, rahib yang mengajari gadis Alibech, perawan polos yang pergi ke padang gurun untuk dekat dengan Tuhan. Sang rahib ingin membantunya. Kepada Alibech ia mengatakan ia tersiksa, sebab satu bagian tubuhnya adalah Iblis yang suka bangun. Agar tak mengganggu, Iblis itu harus dimasukkan ke neraka, kata sang rahib kepada si gadis—dan “neraka itu ada di selangkanganmu”. Maka beribadahlah Alibech dengan rajin menjebloskan Iblis itu ke neraka....
Tampaknya, yang penting dalam Decameron adalah berbagi keasyikan. Bahasanya bahasa Italia yang dikenal banyak orang; tokohnya umumnya orang-orang tanpa décorum. Seperti Boccaccio, mereka bukan ningrat, tapi bagian nuova gente, kelas menengah terpelajar yang mengutamakan nilai-nilai zaman Renaissance: bukan lagi kegagahberanian kesatria dan keteguhan iman, seperti di Abad Pertengahan, melainkan hidup yang lugas, kenikmatan badani, dan eros yang membangkitkan semangat.
Kisah-kisah Boccaccio memang tak mengajarkan moral. Tapi dengan realisme sebuah novel, karya ini sebuah “karnival” dalam pengertian Mikhail Bakhtin: tak satu arah, tak satu kisah. Yang bercerita tampil bergantian, dengan pandangan yang mungkin berselisih.
Ada campur aduk: cerita dan tokoh bisa dari mana saja, baik dari puisi Dante maupun dari Pancatantra, dongeng-dongeng Hindustan. Tak ada ajaran filsafat. Hidup hadir dalam wujud yang konkret: bisa lurus, bisa bengkok. Dosa badan diakomodasi sebagai kenyataan. Juga yang dilakukan mereka yang berjubah agama.
Karnival, kata Bakhtin, “membebaskan orang dari rasa takut, membawa dunia dan orang lain saling dekat sedekat-dekatnya”. Karnival mengalir, menentang yang mandek seperti dogma dan keseriusan berwajah angker.
Decameron adalah karnival: dengan keasyikan bersama ia menentang kematian—bukan sebagai transisi, tapi kemandekan.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo