Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELIBATAN Tentara Nasional Indonesia dalam pemberantasan terorisme merupakan penghinaan terhadap prinsip supremasi sipil. Lebih dari sekadar mengancam kewibawaan konstitusi, mengikis integritas hukum nasional, dan membahayakan kebebasan orang banyak, ikut campurnya tentara dalam soal teror justru “meninggikan” teroris dan tindak pidana yang dilakukannya. Ditangani polisi, terorisme merupakan perbuatan kriminal. Di tangan tentara, terorisme menjadi kejahatan politis dan ideologis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Draf peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam penanganan tindak pidana terorisme telah dikirim Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly ke Dewan Perwakilan Rakyat pada 4 Mei lalu. Proses terburu-buru ini mudah mendatangkan wasangka: pemerintah “menyelundupkan” draf ini dengan memanfaatkan kelengahan masyarakat yang tengah sibuk menghalau pandemi Covid-19. Pemerintah bisa berdalih bahwa pengesahan peraturan pemerintah tentang pelibatan TNI dalam penanganan terorisme merupakan amanat dari Pasal 43 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun itu tidak berarti pembahasannya harus dilakukan tergesa-gesa hingga mengabaikan partisipasi publik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apalagi rancangan peraturan presiden ini terindikasi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 7 ayat 2 aturan itu menyebutkan pelibatan TNI untuk operasi militer selain perang dapat dilakukan setelah ada keputusan politik negara. Keputusan politik negara yang dimaksud adalah keputusan presiden dengan berkonsultasi dengan DPR. Peraturan presiden itu menyebutkan pengerahan militer cukup berbekal perintah presiden.
Tentu saja kita tidak dapat menutup mata terhadap laku lajak yang dilakukan aparat kepolisian dalam menangani teror. Di luar banyak kisah sukses polisi mencegah teror, sejumlah catatan kelam telah pula dilansir lembaga hak asasi manusia. Tewasnya warga Klaten, Siyono, yang ditengarai akibat salah tangkap Detasemen Khusus 88 Antiteror Kepolisian RI pada 2016 adalah salah satunya. Di luar itu, kerap muncul bisik-bisik tentang aparat Densus 88 yang dipakai oknum petinggi Polri untuk kepentingan pribadi dan urusan konflik internal sesama mereka.
Pemerintah semestinya belajar dari periode suram rezim Orde Baru dalam menangani terorisme. Ketika itu, tentara gagal mencari akar persoalan terorisme. Keterlibatan aparat intelijen TNI membikin runyam keadaan. Sejumlah aksi terorisme belakangan diketahui dilakukan oleh mereka yang telah lama “dibina” militer.
Presiden Joko Widodo tak perlu ragu menarik kembali draf peraturan presiden yang sudah dikirimkan ke DPR. Kembalikan saja urusan teror kepada polisi dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Lembaga yang terakhir hendaknya berfokus untuk menangani mereka yang sudah terpapar seraya mencari pelbagai solusi preventif. Terhadap polisi yang nakal, Divisi Profesi dan Pengamanan Polri hendaknya tidak ragu bertindak.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo