Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fariz Alnizar*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREBAKNYA istilah kekerasan di ruang publik membuat saya gelisah. Fenomena apakah yang sejatinya terjadi? Adakah penjelasan yang memadai soal merebaknya penggunaan istilah kekerasan itu? Bagaimana sikap kita? Mensyukurinya sebagai bagian dari kreativitas atau justru meratapinya? Atau jangan-jangan kita sudah abai terhadapnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tersebab ruang publik sedemikian luas, dalam tulisan ini saya akan berfokus pada perkara kuliner saja. Kuliner merupakan bagian penting dari gaya hidup masyarakat modern. Bisnis kuliner menjadi salah satu bisnis paling yahud.
Sosiolog gaya hidup dan kuliner David Chaney (2004) dalam “Fragmented Culture and Subculture” menegaskan ada perubahan wacana yang sangat mencolok tentang kebiasaan makan manusia dari waktu ke waktu. Salah satu pemantik utama perubahan itu adalah pergeseran cara pandang terhadap makanan: dari persoalan sebatas mengisi perut menjadi persoalan estetika yang rumit.
Menjamurnya restoran dan berjejalnya pujasera adalah bukti sahih betapa urusan perut memang selalu mengasyikkan dan menarik. Dari sana, kita mendapat bahan untuk didiskusikan. Sebab, merebaknya bisnis kuliner sejalan seirama dengan membuhulnya budaya kekerasan tekstual di ruang publik. Wajah kuliner kita, selain karib dengan mistisisme dan erotisisme (lihat kolom Bahasa! Tempo, 22 Februari 2020), sarat dengan nuansa kekerasan dan predatorisme.
Ihwal kekerasan, sosiolog Norwegia, Johan Galtung, pada 1969 menghangatkan ruang diskusi tatkala memunculkan teori kekerasan struktural. Bagi Galtung, kekerasan struktural merupakan kutub yang berlawanan dengan kekerasan langsung. Kekerasan struktural diartikan sebagai kondisi budaya, politik, agama, ekonomi, dan sebagainya yang dijadikan stempel untuk melakukan kekerasan. Bagi pendapat ini, ketidakadilan yang menyebabkan manusia tidak berhasil memenuhi hajat hidupnya merupakan praktik kekerasan struktural paling nyata.
Sukses dengan teorinya itu, pada 1990, Galtung mengembangkan lagi teori yang diberi nama kekerasan kultural atau kekerasan budaya. Kekerasan jenis ini memiliki cakupan yang sangat luas. Sebab, wahana persemaiannya adalah kebudayaan. Kebudayaan dalam konteks ini diberdayakan sebagai alat untuk melegitimasi kekerasan. Pada tahap inilah Beatrice Hanssen (2000) mengusulkan istilah kekerasan linguistik atau kekerasan bahasa sebagai bagian tak terpisahkan dari kekerasan budaya.
Dengan menggunakan pendekatan struktur kekerasan sebagaimana disebutkan, sedikit benderang bagi kita untuk membahas bagaimana budaya kekerasan menjadi sangat riuh belakangan mewarnai khazanah kuliner kita. Dengan mudah kita menemukan nama produk kuliner yang menggambarkan kekerasan atau setidaknya identik dan asosiatif dengan kekerasan: geprek, penyet, gepuk, remuk, pentung, rudal, bom, cincang....
Nama-nama dengan unsur kekerasan itu menjadi sedemikian karib di telinga kita. Menariknya, umumnya kita justru menikmati sensasi kekerasan yang dihasilkan bahasa yang menjadi label produk kuliner itu. Melalui serangkaian nama itu, kita menjadi mafhum bahwa manusia memang pemangsa sejati. Watak pemangsa ini tidak berhenti sebatas memangsa, tapi harus ada sensasi. Sayangnya, sensasi yang didapuk adalah sensasi kekerasan dan pembantaian. Pada konteks inilah kekerasan linguistik bekerja.
Selepas pulang melancong keliling Benua Biru, seorang kawan bercerita dengan menggebu, “Di Prancis, malam hari sebelum disembelih, sapi-sapi ternak disuguhi musik oleh pengelola peternakan. Itu dilakukan sebagai upaya menghilangkan stres pada hewan ternak. Percayalah, daging ternak yang tidak mengalami stres jauh lebih empuk dan gurih.”
Mendengar cerita itu, saya bergidik. Ingatan saya menerawang jauh mengingat bagaimana adab kita memperlakukan hewan-hewan yang akan menjadi santapan. Saya teringat pada nasib kambing, kerbau, sapi, dan—yang paling menderita barangkali—ayam. Unggas itu harus menanggung nasib buruk sejak diputuskan untuk diperjualbelikan. Ia digantung dengan posisi kaki di atas. Tak hanya disembelih, ayam harus menjalani kesunyian nasibnya: dipenyet, dipentung, dikremes, dipecok, digeprak, digeprek, dan dimutilasi untuk dihidangkan.
Alhasil, harus kita sadari bahwa “tsunami” bahasa kekerasan merangsek sedemikian jauh hingga menaburi persoalan yang paling dekat dengan kita, yakni urusan makan-memakan. Dulu barangkali bahasa kekerasan hanya sebatas tampil pada hulu berita dan menghiasi koran atau majalah, tapi hari ini sudah hadir di ingar-bingar tempat manusia membuang rasa lapar.
*) PENGAJAR LINGUISTIK UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA INDONESIA, PENULIS BUKU PROBLEM BAHASA KITA (2017)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo