Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cina kini menghadapi dilema berat. Negeri berpenduduk terbesar di dunia itu kini harus menjawab pertanyaan penting apakah Cina akan mendarat dengan mulus atau tidak. Tapi yang jauh lebih penting adalah apakah negeri itu mampu mengatasi masalah-masalah struktural jangka panjang dan menghindari kerentanan yang diperlihatkan belakangan ini.
Marilah pertama-tama kita mencoba memahami kondisi perekonomian Cina yang memanas dewasa ini. Gejala-gejalanya terlihat dari pertumbuhan yang tinggi (rata-rata sembilan persen), laju inflasi yang terus meningkat, dan beralihnya surplus perdagangan luar negeri menjadi defisit.
Sumber keprihatinan utama adalah kelebihan investasi dan kerentanan yang ditimbulkannya. Investasi tetap tumbuh 27 persen pada 2003, dan setahun kemudian, pada Mei 2004, laju pertumbuhan masih tetap 34 persen, meskipun terjadi perlambatan hingga 18 persen seperti terlihat dari perkembangan bulan ke bulan selama Mei. Kontribusi investasi tetap terhadap produk domestik bruto (PDB) mencapai 46 persen dan termasuk yang tertinggi di dunia. Investasi yang berlebih terasa di sektor baja, semen, otomotif, dan properti.
Apalagi kini juga terasa adanya hambatan karena kurangnya pasokan bahan baku dan tenaga listrik. Setelah inflasi nol persen atau bahkan deflasi sejak 1997, indeks harga konsumen naik sejak triwulan terakhir tahun 2003, meskipun inflasi tahun per tahun (year on year) pada Mei berada pada tingkat 4,4 persen?masih tetap di bawah batas psikologis 5 persen. Cina juga menghadapi masalah dalam membuang kelebihan likuiditas dalam perekonomian dan sistem perbankan sebagai dampak dari masuknya modal yang besar, yang sebagian merupakan antisipasi terhadap kenaikan kurs mata uang pada 2003.
Kondisi saat ini hendaknya dibandingkan dengan pengalaman memanasnya perekonomian pada 1990-an. Ketika itu, terjadi kelebihan permintaan yang menyebabkan inflasi naik tajam. Sementara itu, masalah yang dihadapi saat ini adalah investasi yang berlebih atau adanya penawaran yang lebih besar daripada permintaan, sehingga memunculkan masalah-masalah kelebihan kapasitas, khususnya ketika perekonomian harus diperlamban. Apalagi inflasi didorong naiknya harga energi dan listrik dan juga harga bahan mentah, yang bersamaan dengan naiknya harga makanan akibat kurangnya pasokan gandum.
Yang kedua, kebijakan pemerintah untuk menyelesaikan masalah memanasnya perekonomian dewasa ini juga berbeda dari kebijakan-kebijakan pengetatan moneter dan fiskal yang diperlukan pada 1990-an. Dalam situasi sekarang, untuk mengatasi masalah kelebihan investasi, pemerintah harus mengendalikan investasi dan pengucuran pinjaman baru dan pada saat yang sama masalah sektoral dan struktural harus juga diatasi.
Pemerintah Cina telah mencoba mengendalikan investasi dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan, termasuk meningkatkan syarat reserve requirement untuk mengurangi pinjaman baru. Mereka juga berusaha mengendalikan spekulasi yang berlebihan di sektor properti dengan membatasi penggunaan tanah untuk pengembangan properti, menaikkan suku bunga hipotek kedua dan ketiga, dan juga membatasi penjualan kembali properti baru, yaitu hanya bisa dilakukan bila konstruksinya telah selesai. Pemberian izin bagi investasi baru di sektor tertentu, seperti baja, juga dihentikan sementara.
Setelah angka-angka dalam beberapa bulan pertama tahun 2004 menunjukkan bahwa gejala-gejala itu belum juga mereda, pemerintah menggunakan instrumen yang "lebih jelas sifatnya" dalam bentuk tindakan-tindakan "administratif". Tindakan ini mirip dengan "gebrakan Sumarlin" pada 1990-an ketika bank-bank pemerintah diperintah membeli sertifikat Bank Indonesia agar pemberian pinjaman baru dapat dikurangi.
Karena masih besarnya kendali atas sistem perbankan yang didominasi bank-bank negara, Otoritas Perbankan Cina mampu mengendalikan pemberian pinjaman baru dan menjadikan sejumlah sektor yang memiliki kelebihan kapasitas sebagai target spesifik, seperti semen, baja, otomotif, dan properti.
Masalahnya, kendati langkah-langkah administratif itu mungkin memberikan hasil, banyak investasi ini berkaitan dengan usaha milik negara yang pendanaan investasinya bergantung pada laba ditahan, investasi asing, atau sumber dana lainnya. Kelebihan investasi ini juga terjadi karena pengembangan prasarana dan properti yang dilakukan atau disetujui pemerintah-pemerintah daerah?yang semuanya ingin punya bandar udara, pelabuhan, pusat pameran internasional, dan kawasan industri teknologi tinggi milik sendiri. Sebagai contoh, dalam jarak 140 kilometer dari Shanghai terdapat empat bandara internasional, sedangkan pelabuhan laut Shanghai yang baru hanya 80 kilometer dari proyek serupa yang terletak di dekat Ningbo.
Dewan Negara telah ditugasi menghentikan pertumbuhan investasi di pedesaan dan di daerah-daerah. Namun, apakah pemerintah pusat berhasil mengendalikan ekspansi seperti itu, semuanya bergantung pada apakah insentif dan masalah pengelolaan pemerintahan dapat mengubah perilaku pemerintah lokal dan regional yang didorong oleh target pertumbuhan PDB. Yang diperlukan adalah mempertimbangkan kembali target-target itu dan juga membenahi masalah pengelolaan pemerintahan dan akuntabilitas. Cina hendaknya memberikan perhatian pada masalah potensial ini bersamaan dengan majunya proses desentralisasi.
Memang statistik bulan Mei menunjukkan penurunan tingkat pertumbuhan investasi bulan ke bulan dan berubahnya defisit perdagangan menjadi surplus perdagangan memberikan secercah harapan bahwa Cina akan dapat melakukan pendaratan mulus. Tapi, jika kita mengambil pelajaran dari krisis Asia, tanggapan yang lebih efektif dan lebih komprehensif yang juga membenahi masalah struktural jangka panjang merupakan jalan satu-satunya yang pasti bagi Cina untuk dapat menghindari bukan saja pendaratan yang tidak mulus, melainkan juga terjadinya krisis di masa depan.
Langkah-langkah administratif semata tidak akan cukup mengendalikan investasi baru. Yang diperlukan adalah menaikkan suku bunga yang dapat mencerminkan dengan lebih baik biaya modal dan memastikan bahwa kualitas investasi membaik. Menurut Citigroup, pertumbuhan PDB nominal berada pada tingkat 12-13 persen dan tingkat pengembalian modal di Cina secara rata-rata berada pada tingkat 12 persen setahun, sedangkan hasil obligasi pemerintah hanyalah 4,5 persen dan tingkat pinjaman modal kerja sekitar 5,3 persen.
Karena itu, suku bunga hendaknya dinaikkan dan tingkat kurs dibuat lebih fleksibel sehingga memudahkan pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter yang ketat dan melakukan pengenduran kontrol administratif. Fleksibilitas tingkat kurs bisa diatur dari rentang yang ada sekarang hingga kemungkinan memperlebar rentang tersebut. Namun pengendalian modal masih diperlukan selama proses restrukturisasi perbankan belum selesai.
Kalau tidak demikian, tindakan menaikkan suku bunga mungkin menjadi kontraproduktif karena hanya akan memperderas arus masuk modal dan kembali meningkatkan kelebihan likuiditas dalam sistem perbankan. Lagi-lagi keadaan ini menyerupai apa yang dialami Indonesia selama tahun-tahun booming ketika pengetatan kebijakan moneter menyebabkan suku bunga naik, dan sebagai akibatnya tidak saja terjadi arus masuk modal yang lebih besar dan tidak dapat dicegah lagi, tapi juga berlanjutnya peningkatan pinjaman ke sektor yang berisiko.
Cina juga harus membenahi masalah struktural dan sektoral yang menimbulkan keraguan mengenai "kualitas investasi". Kebijakan konvensional masih tetap berlaku bahkan dalam kasus Cina, walaupun realitasnya adalah bahwa masalah-masalah implementasi masih akan tetap ada. Pertama-tama, Cina harus berusaha membuat tingkat kurs mata uangnya lebih fleksibel, bukan karena Amerika Serikat tengah menekan mereka untuk melakukan hal ini, melainkan karena langkah ini masuk akal sebagai instrumen tambahan dalam pelaksanaan kebijakan moneter. Namun Cina hendaknya harus tetap mempertahankan pengendalian modal hingga negeri ini dapat membenahi berbagai masalah dalam sistem perbankan.
Yang kedua, karena pinjaman bermasalah yang ada sekarang atau yang berulang dalam sistem perbankan terkait erat dengan kesehatan perusahaan negara, tindakan-tindakan berani dan arahan yang jelas dalam pembenahan perusahaan milik negara harus dipercepat. Yang ketiga, masalah kredit dalam sistem perbankan masih perlu dibenahi lebih lanjut, termasuk melakukan restrukturisasi dan rekapitalisasi untuk satu tahap lagi. Dengan cadangannya yang besar, Cina mungkin mampu melakukan hal ini. Namun, bukan hanya akan sulit bagi Cina untuk terus-menerus memberikan dana talangan, yang lebih penting, krisis Asia telah menggambarkan bagaimana pemberian dana talangan secara terus-menerus justru menjadi disinsentif negatif dalam perbaikan struktur dan pengelolaan perbankan.
Akhirnya, masalah-masalah Cina yang lebih spesifik berkaitan dengan perencanaan pemerintah pusat dan pemerintah lokal yang lebih baik, terutama dalam konsolidasi pengembangan prasarana dan industri padat modal (baja, otomotif). Hal ini bukan merupakan pekerjaan yang mudah mengingat tingginya persaingan regional kendati pemerintah pusat masih memegang banyak kendali. Pada akhirnya, Cina juga harus memiliki pendekatan yang komprehensif dan strategis untuk mengatasi masalah dalam produksi gandum, bahan mentah, dan kekurangan listrik, yang telah menyebabkan kenaikan harga makanan dan penawaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo