Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejutan itu terjadi pada 29 Mei lalu dalam acara seni dan perdamaian di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. Di panggung, penyair Hamid Jabbar sedang beraksi membacakan syair karyanya. Tiba-tiba Hamid terjatuh. Penonton berdecak kagum, mengira Hamid sedang intens menghayati syair-syairnya.
Tapi semenit, dua menit berlalu, Hamid tak juga bangkit. Saat itulah penonton sadar ada yang tak beres. Penyair asal Bukit Tinggi itu ternyata memang pingsan, lalu tewas di panggung.
Hanya dua hari kemudian, di Bali para undangan kaget menyaksikan seorang jaksa meninggal mendadak saat menyampaikan sambutan purnatugas. Sebelumnya, kematian serupa menimpa Dr. Soedjatmoko dan Romo Mangunwijaya, juga pasti sejumlah orang lain yang tidak terkenal sehingga tak terekam media. People's hearts stop beating every day.
Mengapa kematian mendadak sering terjadi? Kebanyakan penyebab mati mendadak adalah gangguan jantung sehingga disebut mati jantung mendadak (MJM). MJM tidak mesti akibat serangan jantung (infark miokard akut). Umumnya MJM mengenai jantung dengan area konduksi listrik abnormal yang terjadi akibat pemicu tertentu (misalnya reaksi emosional yang membebani jantung) merangsang sengatan irama listrik ganas dan seketika menghentikan kerja organ sekepalan tangan ini.
Pada saat terjadi gempa bumi Northridge di California pada 1994, kejadian MJM melonjak empat kali lipat. Diperkirakan 40 persen MJM dipicu oleh stres emosional. Aktivitas fisik yang berat, obat-obatan, serta gangguan metabolis dan elektrolit tubuh adalah contoh pemicu yang lain.
Jantung yang rentan terhadap irama ganas terutama dimiliki penderita penyempitan pembuluh koroner. Sebuah studi autopsi terhadap 169 jantung korban mati mendadak menemukan bahwa sebagian besar liang pembuluh koroner telah menyempit 75 persen atau lebih. Berbagai studi lain, baik atas korban MJM maupun mereka yang terselamatkan dari musibah itu, mengkonfirmasikan temuan studi tersebut.
Selain itu, jantung yang menebal lantaran hipertensi atau faktor genetis dan jantung yang melar akibat tak kuat memompa berpotensi menyimpan abnormalitas konduksi listrik yang dapat menjadi "bom waktu". Jaringan parut pada dinding otot jantung (bekas serangan jantung) kerap menjadi sumber irama ganas. Henti jantung dapat pula mengenai penderita kelainan katup dan mereka yang punya gangguan listrik jantung primer seperti sindrom QT panjang dan sindrom Brugada.
Di Amerika diperkirakan 300 ribu orang per tahun mengalami mati jantung mendadak. Sedangkan di negara berkembang (termasuk Indonesia) insiden MJM tidak diketahui pasti. MJM sebagian besar terjadi pada mereka yang berusia 45-75 tahun. Laki-laki mengalami risiko dua-tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita.
Untuk menentukan apakah jantung seseorang berisiko tinggi mencetuskan irama fatal diperlukan rekaman elektrokardiografi (EKG) dan pemeriksaan khusus seperti dispersi QT, ada-tidaknya late potential, dan pemeriksaan variabilitas denyut jantung. Selain itu, kadang diperlukan pula studi elektrofisiologi, yaitu tes untuk mengetahui adanya respons abnormalitas irama jantung setelah diprovokasi dengan alat yang dimasukkan ke dalam ruang jantung.
Bagi mereka yang punya gangguan jantung yang berpotensi mengalami MJM, selain perlu pengobatan penyakit dasar, terdapat pilihan obat yang dapat menekan munculnya irama ganas tersebut. Bahkan kadang terapi ablasi, suatu tindakan membakar sumber irama ganas dengan energi frekuensi radio, diperlukan.
Kalau toh itu juga dianggap tidak berhasil, suatu alat kejut jantung dapat ditanamkan di bawah kulit bahu kiri. Alat seberat 100 gram ini dapat mendeteksi gangguan irama jantung dan secara otomatis menimbulkan kejutan listrik sehingga penderita terhindar dari kematian.
Terlepas dari peranan tenaga medis, sebenarnya masyarakat dapat mencegah kematian prematur akibat henti jantung mendadak ini. Resusitasi jantung paru (RJP) yang mudah dipelajari masyarakat awam dapat meningkatkan harapan hidup korban. Tanpa pertolongan segera, kesempatan hidup korban henti jantung menurun 10 persen tiap menit.
Di Seattle, Amerika Serikat, pelatihan RJP pada 80 ribu penduduk kota ternyata menurunkan angka kematian prematur akibat jantung yang mandek. Di negara maju bahkan dikenal apa yang disebut program public-access defibrillation. Program ini melatih kru pesawat, polisi, dan satpam menggunakan alat kejut jantung luar (automatic external defibrillators) untuk menolong korban henti jantung.
Selain itu, respons cepat pelayanan kegawatdaruratan perlu didukung oleh ruang gerak ambulans yang leluasa. Pencegahan dan penanganan yang cepat serta tepat akan sangat membantu menurunkan angka kematian seperti ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo