Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun bukan yang pertama, perdebatan tentang celana cingkrang dan cadar menyeruak kembali. Kedua kata itu dianggap merepresentasikan ideologi tertentu, bahkan sebagai bagian ekstrem dalam ideologi tersebut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat cingkrang dengan satu arti: terlalu pendek. Tidak ada penjelasan lain yang mengaitkannya dengan pakaian. Tampaknya, kata cingkrang diserap dari bahasa Jawa. Dalam Javaans-Nederlands Handwoordenboek, Pigeaud mencatat cingkrang sebagai “vo te jort, te klein (kleding); ontoereikend” atau “terlalu pendek, terlalu kecil (tentang pakaian); tidak cukup”. Senada dengan itu, Poerwadarminta mencatat arti “jigrang, kurang landhung; kurang, jubel, cupet”. Jadi cingkrang tidak hanya disematkan pada pakaian, tapi digunakan pula secara umum dengan arti “kurang”.
Sebagai contoh, dalam korpus bahasa Indonesia, meskipun jumlahnya sedikit, tercatat kalimat-kalimat berikut ini. Walau terlihat agak cingkrang lantaran mobil terlihat lebih tinggi dari versi standar dan tidak ada upgrade suspense.... Tampilan mobil malah jadi cingkrang lantaran si pemilik enggak mau memakai lowering kit. Baju anak sudah pada cingkrang. Sudahpun miskin tapi otaknya cingkrang. Kalau soal Tanah Miring itu yang cingkrang proses penentuan anggarannya! Nah, bahan sebagus itulah kemudian yang oleh penjahit politik di DPR digunting dan jahit serampangan, akibatnya DPR sekarang jadi cingkrang tak menentu, tak keruan lagi potongan dan model demokrasinya! Perbaikannya bisa jauh lebih sulit, seperti pakaian salah potong dan jahit malah cingkrang sana longgar sini!
Sementara itu, cadar didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai “kain yang menutupi seluruh tubuh termasuk kepala dan wajah, kecuali mata, biasa dikenakan oleh wanita muslim” dan “kain penutup meja; alas meja; seprai”. Kata cadar diserap dari bahasa Persia, chadir. Bisa jadi kita menyerapnya langsung dari Persia atau melalui kata chaddar dari India, yang merujuk pada kata yang sama, tapi dengan arti “kain/lapisan katun”.
Bahasa Jawa ternyata mengenal juga kata cadar. Menurut catatan Jan Wisseman Christie, pada abad kesepuluh di Jawa ada kelompok pedagang kain profesional yang disebut acadar, yang secara harfiah berarti “penenun kain cadar”. Kain ini berbeda dengan kain lain yang lazim diproduksi secara rumahan. Kain cadar memiliki kualitas yang lebih baik. Kain cadar dianggap cukup baik untuk disajikan kepada penguasa pada abad kesepuluh. Dalam praktik persembahan, kain cadar lazim dipasangkan dengan kain tapis atau kain yang “tipis, halus”.
Alat tenun yang digunakan disebut pacadaran dan berbeda dengan alat tenun yang lazim. Pacadaran memiliki lungsin terputus-putus, untuk memungkinkan penggunaan sisir atau buluh yang dibutuhkan buat memisahkan kapas halus atau benang sutra.
Dari catatan itu pula, antara lain, kita dapat membaca bahwa kain atau pakaian telah dan akan selalu bersinggungan dengan politik ataupun ideologi. Pada abad kesepuluh, bahan pakaian lazim digunakan sebagai persembahan kepada penguasa atau hadiah dari penguasa kepada orang yang layak mendapatkannya. Untuk pria, dipersembahkan atau dihadiahkan wdihan, sementara ken atau kain untuk perempuan. Uniknya, cadar atau tapis cadar merupakan bagian dari wdihan yang diperuntukkan buat laki-laki.
Dalam wacana ideologi ataupun agama, pakaian menjadi sarana pertarungan. Dalam istilah Reina Lewis (2003), fashion berkelindan antara -styling bodies dan mediating faith. Pakaian menjadi medium dan juga tampilan keyakinan. Tak aneh jika kemudian jagat maya pun diramaikan dengan unggahan hadis tentang celana cingkrang. Salah satu kitab suci juga memaparkan soal busana wanita yang harus berbentuk modest apparel, tanpa hiasan apa pun, karena wanita dinilai bukan dari gemerlap pakaiannya, melainkan dari perbuatannya.
Jadi, sampai kapan pun, pakaian, mode busana, akan tetap menjadi wacana pertarungan politik, ideologi, dan agama. Namun tidak ada pakaian atau cara memakainya yang secara intrinsik milik agama atau sekte tertentu. Semua pakaian secara inheren polisemik dan terbuka untuk diinterpretasikan oleh pemakai dan pengamat yang berbeda. Pakaian dapat memperoleh makna secara sederhana ataupun sebagai penanda atau keyakinan tertentu tentang waktu, tapi ini juga dapat berubah dan diperebutkan.
*) PENELITI BALAI BAHASA JAWA BARAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo