Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEPOLISIAN Daerah Istimewa Yogyakarta seyogianya tidak terpengaruh sikap Universitas Gadjah Mada yang menginginkan kasus perundungan seksual terhadap seorang mahasiswinya diselesaikan di luar jalur hukum. Tindakan itu mesti diusut tuntas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agnisebut saja namanya begitudilecehkan oleh sesama mahasiswa UGM saat mengikuti program kuliah kerja nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku, pada Juni 2017. Kejadian tersebut langsung dia laporkan kepada pengawas di lapangan, tapi sikap UGM sejak awal aneh dan mencurigakan. Bukannya menyelidiki lalu menindak pelaku, mereka menuding Agni merusak nama baik kampus. Pulang ke Yogyakarta, Agni mendapat nilai C untuk mata kuliah KKN.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kampus lalu menutup-nutupi kasus tersebut. Kalau tidak dibongkar oleh majalah mahasiswa UGM Balairungyang menerbitkan kisah Agni pada November 2018 dengan judul "Nalar Pincang UGM atas Kasus Perkosaan"peristiwa biadab tersebut mungkin akan selamanya terkubur.
Setelah diramaikan Balairung, polisi akhirnya turun tangan melakukan penyelidikan. Tapi UGM bergeming. Pada Januari lalu, merujuk pada komisi etik yang dibentuk khusus untuk menginvestigasi kasus tersebut, mereka kembali menyatakan tidak pernah ada perundungan seksual terhadap Agni. Pelecehan yang dilaporkan korban dinyatakan hanya merupakan perbuatan asusila biasa dan tidak tergolong pelanggaran berat. UGM bahkan mengklaim Agni sudah berdamai dengan pelaku. Kampus juga meminta polisi menghentikan penyelidikan.
Sangat disayangkan sebuah lembaga pendidikan tinggi yang seharusnya rasional dan peka terhadap hukum, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia malah ikut terjebak dalam kultur impunitas yang sangat bias kekuasaan. Sikap UGM, yang juga dikenal dengan sebutan Kampus Biru, memperlihatkan betapa posisi wanita korban kekerasan seksual di negeri ini masih amat lemah.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyebutkan setiap tahun sekitar 50 persen kasus perundungan seksual berakhir dengan mediasikata lain untuk fakta bahwa para korban dipaksa berdamai. Yang mencoba melawan sering bernasib tragis, seperti yang menimpa Baiq Nuril. Mantan pegawai Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, itu divonis penjara 6 bulan dan denda Rp 500 ribu oleh pengadilan. Dia dituding mencemarkan nama atasan yang melecehkannya.
Dengan suburnya impunitas, ditambah penegakan hukum yang masih lemah, tak mengherankan jika jumlah perempuan korban perundungan seksual terus bertambah. Menurut data Komisi Nasional Perempuan, kasus perundungan seksual terhadap wanita pada 2017 mencapai lebih dari 335 ribu, melonjak dari sekitar 159 ribu kasus tahun sebelumnya. Kekerasan terjadi di semua lapisan masyarakat, dan hampir tidak ada ruangbaik publik maupun privatyang aman bagi perempuan.
Kita berharap Kepolisian Yogyakarta tidak terpengaruh nalar pincang UGM. Rekonsiliasi antara Agni dan korban hendaknya tidak dijadikan tameng untuk melindungi pelaku kejahatan dari jerat hukum. Proses hukum harus terus berjalan walaupun korban sudah memaafkan tersangka.
Tentu saja, di sisi lain, kita meminta Agni berani bersuara lantang memperjuangkan keadilan atas kekerasan seksual yang menimpanya. Kebiadaban terhadap perempuan oleh siapa pun dan dalam bentuk apa pun mesti dihentikan, dan cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan melawan.