Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sri Wiyanti Eddyono, anggota Komite Etik Universitas Gadjah Mada atau UGM Yogyakarta menjelaskan akar persoalan ketidaksetaraan antara-penyintas dan pelaku dalam dugaan kasus pelecehan seksual yang menimpa Agni (bukan nama sebenarnya). Agni merupakan mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik kampus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dosen Fakultas Hukum UGM ini berpendapat terjadi pelecehan seksual berdasarkan pada perbuatan inkonsensual (tanpa persetujuan). Pendapat itu mengacu pada dokumen, kronologi peristiwa, keterangan kedua belah pihak, dan hasil tim investigasi UGM.
Menurut Sri, Komite Etik berkesempatan bertemu dengan Agni dan pelaku yang berinisial HS. Mereka mempelajari dokumen kronologis dari kedua belah pihak. “Dari proses tersebut pelaku mengakui telah melakukan perbuatan asusila tanpa seizin penyintas dan karenanya bersedia menyampaikan permohonan maaf secara tertulis,” kata Sri Wiyanti, Ahad, 10 Februari 2019.
Menurut Sri, ada perbedaan dan persamaan penggambaran apa yang terjadi dari kedua belah pihak. Situasi yang digambarkan oleh kedua pihak dalam kronologis itu diberikan kepada Komite Etik. Menurut Sri, persamaannya adalah penyintas dalam keadaan tertidur, pelaku mulai melakukan perbuatannya tanpa meminta ijin kepada penyintas. Perbedaannya adalah pada penggambaran apa yang terjadi sesudah itu.
Kepada Tim Etik Agni menuliskan, "Saya ketakutan dan merasa tahu apa yang terjadi selanjutnya, tetapi badan saya kaku dan tidak bergerak. Saya ingin melepaskan diri tapi merasa tidak ada daya. Saya bingung harus bagaimana sebab kalau teriak. Saya takut apabila berteriak, justru dampaknya lebih buruk."
Sementara itu, pelaku menyebut penyintas tidak menunjukkan tanda-tanda menolak dan menganggap penyintas meresponnya. Karena anggapan itu pelaku melanjutkan perbuatannya. Pelaku menyebut, "Waktu itu saya berpikir dia bangun dan sadar atau tahu apa yang terjadi, namun tidak ada penolakan sama sekali."
Menurut Sri, kondisi yang Agni dan HS sampaikan dalam beberapa studi terjadi pada kasus-kasus sejenis. Perempuan merasa tidak berdaya untuk menolak. Sedangkan, laki-laki merasa perempuan tidak menolak.
Menurut Sri, kata-kata yang dipakai sendiri oleh pelaku ‘saya berpikir’ menunjukkan pelaku berbuat karena asumsinya bahwa pihak penyintas yang awalnya diam setuju. Pelaku tidak berpikir bahwa penyintas diam karena takut. “Persepsi yang berbeda ini sesungguhnya dipengaruhi oleh stereotip gender yang terjadi dalam budaya patriarki,” kata dia.
Dampak dari budaya itu, menurut Sri, adalah persepsi laki-laki yang mendominasi kenyataan. Masyarakat memberikan keistimewaan kepada laki-laki untuk mengira bahwa persepsinya adalah kenyataan. Dalam budaya patriarki yang kuat, jika kekerasan seksual terjadi, maka serta merta laki-lakilah dianggap sumber informasi yang paling dipercaya.
Dampak lanjutannya, kata Sri Wiyanti adalah apa yang disampaikan oleh perempuan terkait dengan pengalaman kekerasan seksual yang dialaminya tidak dipercaya. "Diamnya perempuan wujud kebingungan terhadap situasi yang tidak diduga, tidak diterima oleh laki-laki, dan masyarakat," ujar Sri.
Pengalaman perempuan dipertanyakan. Apalagi jika laki-laki yang melakukan kekerasan tidak mengakui perbuatannya. Selain itu, kata Sri, jika pelaku mengakui, tapi disertai alasan yang didasarkan pada persepsi pribadinya terhadap respon korban, maka pengakuan itu dianggap sesuatu yang luar biasa, bahkan menjadi pembelaan.
Pandangan yang sangat bias gender itu, kata Sri Wiyanti terlihat dengan sikap meletakkan kesalahan kepada perempuan sebagai perbuatan yang berkontribusi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh laki-laki. Pada studi-studi di Indonesia dan negara lain ditemukan kekerasan seksual terjadi pada orang yang dikenal, yang memiliki relasi apakah pertemanan, persaudaraan, atau relasi-relasi sosial lainnya.
Keadaan tidak disangka ini terjadi pada situasi yang pada umumnya dalam ruang-ruang privat atau dengan kata lain tidak ada yang menyaksikan perbuatan tersebut. Adanya situasi itu seringkali dipandang sebagai perbuatan yang dilakukan sebagai ‘suka sama suka’. “Unsur paksaan seolah tidak ada dan paksaan selalu dianggap sesuatu yang bersifat fisik,” kata Sri Wiyanti.