Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRONI ini sungguh menyakitkan. Sekitar seperenam cadangan timah dunia ada di Nusantara, sehingga wajar jika kita menjadi produsen dan pengekspor terbesar logam ini. Nyatanya, inilah yang tak wajar, Indonesia nyaris tak berperan dalam menentukan harga timah dunia. Kabar buruk itu terjadi setidaknya sampai pemerintah mengeluarkan peraturan baru tentang ekspor timah, bulan lalu.
Amat terlambat memang, tapi lebih baik ketimbang tidak dilakukan sama sekali. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32 Tahun 2013, yang merevisi ketentuan sebelumnya, sejak 30 Agustus lalu perdagangan timah batangan untuk tujuan ekspor wajib dilakukan melalui bursa timah. Transaksi model baru ini diharapkan mampu membuat Indonesia menjadi penentu harga dunia, mencegah praktek under invoice, meningkatkan royalti, dan mencegah praktek penambangan timah ilegal.
Harga timah dunia selama ini amat ditentukan oleh bursa logam London (LME). Bursa itu tentu menentukan harga berdasarkan kepentingan para anggotanya. Celakanya, kekuatan anggota tidak setara. Tiga negara yang belakangan ini mengkonsumsi dua pertiga timah dunia—Amerika Serikat, Cina, dan Jepang—ternyata lebih berperan menentukan harga ketimbang para produsennya.
Penetapan harga timah yang adil pernah terjadi semasa Dewan Timah Internasional (ITC). Dewan itu dibentuk pada 1956 untuk menyepakati harga timah yang dianggap adil bagi pemakai dan produsennya. Namun dewan itu dianggap sebagai kekuatan antipasar bebas dan dibinasakan pemerintah Amerika melalui penjualan stok cadangan strategisnya pada akhir 1970-an hingga awal 1980-an. Akibatnya, ITC bangkrut dan ditutup pada 1985. Harga timah dunia pun turun mengikuti gejolak pasar yang lebih mencerminkan kepentingan para konsumen besar.
Akibatnya gawat, harga timah sempat berada di bawah ongkos penambangan yang dilakukan secara ramah lingkungan. PT Timah lalu menghentikan kegiatan di sebagian besar lokasi tambangnya di Pulau Bangka dan Belitung. Lokasi itu lantas dijarah berbagai kelompok usaha yang tak mempedulikan keadaban lingkungan dan keselamatan para pekerjanya. Lingkungan hidup rusak, tercemar, dan banyak pekerja usaha liar yang terluka bahkan tewas saat menambang.
Pemerintah tak berdaya menghadapi mereka. Untungnya, masyarakat pencinta lingkungan dunia turun tangan. Kelompok Friends of Earth, misalnya, berhasil menekan perusahaan besar pemakai timah, seperti Samsung dan Apple, agar tidak membeli timah yang diproduksi dengan merusak alam atau membahayakan pekerja tambangnya. Harga timah yang ditambang secara abal-abal ini pun semakin turun dan tak lagi menguntungkan. Banyak kegiatan penambangan liar berhenti.
Dalam kondisi itulah kebijakan pemerintah menugasi PT Timah menguasai kembali lokasi tambangnya amat tepat. Apalagi disertai pembentukan Bursa Komoditi & Derivatif Indonesia sebagai pengganti peran LME. Dengan tata niaga baru ini, akan terbedakan timah yang diproduksi secara ramah lingkungan dan menghormati hak asasi manusia dengan yang ditambang secara liar.
Diplomasi timah perlu juga digalakkan. Pemerintah perlu mengajak negara penghasil timah yang lain, seperti Peru, Bolivia, dan Brasil, untuk bersatu padu mengatur tata niaga yang lebih adil bagi produsen dan konsumen. Juga mendorong penambangan yang lebih ramah lingkungan dan lebih memakmurkan rakyat, terutama yang berdiam di sekitar lokasi penambangan.
Bila upaya itu berhasil, pemerintah tak hanya menjalankan amanat Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, tapi juga seiring dengan semangat yang termaktub dalam pembukaan konstitusi kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo