Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mochtar Pabottingi
In every way, then, such prisoners would recognize as reality nothing but the shadows of those artificial objects.
–Plato, The Allegory of the Cave
Berketerusannya krisis multidimensi yang mendera Indonesia sampai detik ini sesungguhnya berakar pada penerapan format politik anakronistis berturut-turut selama dua era politik. Sedari 1966 hingga 1998, Orde Baru ibarat robot terus memberlakukan format politik darurat, padahal sejak 1975 negara kita jelas tak lagi darurat. Sebaliknya, sepanjang 1998 hingga 2008, keempat pemerintahan di Era Upaya Reformasi memberlakukan format politik normal, padahal sejak pertengahan 1996 negara kita jelas kembali memasuki dan selanjutnya terjebak dalam kondisi darurat luar biasa.
Kebijakan politik menjadi anakronistis manakala asumsi atau preskripsi politik yang dipakai bertentangan dengan realitas politik. Ini tentu irasional. Dan irasionalitas di titik pangkal kebijakan niscaya akan terus, bak ”manusia gua” dalam perumpamaan Plato, menjamurkan rentetan irasionalitas di sepanjang penerapannya.
Rentetan irasionalitas politik akibat anakronisme tampil dalam pelbagai bentuk distorsi politik; oportunisme; tiadanya kejelasan dalam hal perkiblatan kebajikan politik (yang pada gilirannya memarakkan tindakan-tindakan politik konyol lantaran kebingungan atau kebodohan); provokasi serta premanisme; lumpuhnya kaidah-kaidah politik baku; adu domba dan rekayasa konflik horizontal maupun vertikal; politisasi agama; laku bebas-jarah atas aset-aset milik swasta maupun—dalam skala triliunan—milik publik; ramainya pemancingan di air keruh; pembusukan hukum; sirnanya iklim dan hancurnya syarat-syarat yang memungkinkan pemimpin nasional lahir; merajalelanya wakil-wakil rakyat gadungan bermoral nista dan khianat; menyerempaknya pilihan-pilihan atau perangkap-perangkap simalakama, dan seterusnya.
Secara umum, perangkap simalakama kita hadapi misalnya dalam tuntutan untuk memberdaulatkan rakyat berhadapan dengan konvergensi pembusukan hukum dan patologi politik uang—yang kembali merampas kedaulatan rakyat itu. Secara khusus, itu misalnya berlaku dalam keniscayaan di Era Upaya Reformasi untuk melaksanakan kabinet presidensial menurut konstitusi dengan keharusan menghadapi realitas ”Kabinet Parlementer”.
Aneka bentuk irasionalitas politik ini akan terus berkecamuk dan mustahil diatasi selama anakronisme politik di titik pangkal kebijakan politik tidak dikoreksi. Di sini praktis tak ada jarak antara momen ”eureka!” dan momen ketanggor. Sebab memang di sinilah terpampang akar kemelut dan sekaligus ironi-ultra kehidupan politik kita selama 1975-1998 Orde Baru dan selama 1998-2008 Era Upaya Reformasi, yaitu pada pertolakbelakangan panjang antara kegamblangan arah nalar politik rasional dan pada kepantangpedulian arah kemauan politik irasional kekuasaan.
Dalam ukuran yang jauh lebih kecil, kontradiksi sangat ironis ini paralel dengan cerita tak kunjung habis dari kasus-kasus pengadilan korupsi kakap sepanjang Era Upaya Reformasi: pada mayoritas kasus itu kepolisian beserta lembaga-lembaga peradilan kita senantiasa menjauhi petunjuk otentik awal mengenai pelaku korupsi dan atau arah pelarian uang untuk akhirnya memutus perkara dengan cara yang kian melecehkan rasa keadilan.
Mengapa yang dipakai oleh para penentu politik kita selama Orde Baru dan Era Upaya Reformasi adalah kebijakan anakronistis? Jawabannya, mereka jauh lebih mengutamakan nafsu untuk terus berkuasa daripada keselamatan Republik kita. Lantaran sudah membudak pada nafsu kekuasaan, mereka tega mempersetankan kaidah-kaidah kebajikan publik serta cita-cita luhur Kemerdekaan.
Jika keadaannya seburuk itu, solusi tak lagi bisa dicari hanya pada kiat-kiat politik baku seperti ”model pemilu” atau ”konsistensi kabinet”. Persoalannya memang tidak pertama-tama terletak pada rangkaian faset atau model mekanisme politik yang dijalankan, melainkan pada sesuatu yang lebih dalam, yaitu pada motif-motif politik buruk yang mendasarinya. Di sini kita sudah berada di luar wilayah text-book politics maupun realpolitik, dan sudah memasuki apa yang mungkin pantas disebut urpolitik.
Motif-motif politik buruk hanya bisa diatasi dengan bertolak dari momen prakiat atau prasistem, yaitu dari kala kita membaca politik dalam dimensi kristal-kristalnya—dari momen paling esensial darinya. Dengan kata lain, deretan distorsi, oportunisme, laku jarah, irasionalitas, multiplikasi perangkap simalakama, yang mendera kita bertubi-tubi, hanya bisa diatasi dengan mengedepankan kebijakan kristalisasi politik. Hanya dengan itu kita bisa mengoreksi dominasi motif-motif politik buruk.
Mesti disadari bahwa pemimpin, khususnya negarawan, hanya bisa lahir dari posisi-posisi politik yang jelas. Karakter bersinar dari posisi-posisi politik yang dikukuhi dan dipertanggungjawabkan. Begitu pula emansipasi, pencerahan, atau terobosan politik. Pelembagaan oposisi yang kredibel pun dimungkinkan hanya dengan berlakunya kejelasan dalam posisi-posisi politik makro maupun dalam pelbagai masalah kenegaraan.
Tanpa kristalisasi politik, tanpa kejelasan posisi-posisi politik, oposisi yang kredibel akan mati dengan sendirinya, digantikan oleh merajalelanya korupsi dan oportunisme. Karakter dan prinsip-prinsip politik luhur jadi lumer dan menguap di gelanggang. Dan bersamanya menguap pulalah elan politik yang hendak menegakkan pemerintahan bersih dan pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat.
Selain karena kebijakan politik anakronistis, keengganan membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana mestinya kian memperkeruh lanskap politik kita. Tiadanya kristalisasi politik ini membawakan akibat-akibat yang amat menyedihkan. Seluruh tatanan politik, hukum, ekonomi, dan moralitas kita jadi rawan distorsi, penyelewengan, dan ketiadaan pertanggungjawaban. Dalam konteks itulah nasion terus dikhianati secara telanjang, bahkan bizarre, justru oleh para petinggi yang berkewajiban menjaga dan memuliakannya di ketiga cabang pemerintahan.
Ada enam langkah yang bisa diupayakan untuk mencapai kristalisasi politik itu. Pertama sekali ialah dengan mengembalikan makna ”politik” menurut pemahaman Aristoteles, yaitu sebagai ilmu yang, jika diamalkan secara benar, tak tertandingi dalam kemampuannya untuk membawakan rangkaian kebajikan dan kemaslahatan publik. Kita perlu mengimbau tiap warga negara yang memiliki integritas dan kompetensi agar aktif dalam kegiatan mencerahkan atau membangun kehidupan politik demi memaksimalkan kebajikan serta kemaslahatan itu.
Kedua ialah dengan menajamkan pemahaman kita akan cetak biru atau rangkaian ideal politik-makro kita sebagai nasion. Pancasila bersifat imperatif di sini. Dasar negara kita ini harus dipahami tidak sebagai melulu hasil adopsi dari khazanah pemikiran politik universal, melainkan juga sebagai hasil sublimasi dan kristalisasi prinsip-prinsip politik modern dari partikularitas rangkaian pengalaman ideal kita sebagai bangsa.
Ketiga ialah dengan memahami adanya simbiosis antara ”nasion” dan ”demokrasi”. Ini berarti bahwa kita harus menegakkan demokrasi sembari memuliakan nasion. Persaudaraan dalam pluralitas nasion akan diperkuat dengan pelaksanaan demokrasi, sedangkan kerja menyusun kontrak-kontrak politik dalam demokrasi dipermudah dengan mengindahkan persaudaraan senasion. Pemahaman akan simbiosis ini mutlak perlu bagi para penentu dan pelaksana kebijakan di ketiga cabang pemerintahan maupun di setiap bagian Tanah Air dalam pelaksanaan otonomi daerah.
Keempat, memasuki wilayah praksis, ialah dengan memisahkan urusan agama dan urusan negara atau menjaga independensi keluhuran serta kebajikan masing-masing agar tidak saling merusak, melainkan justru saling menunjang. Pencampuradukan urusan agama dan urusan negara akan merancukan integritas serta kompetensi masing-masing dan akhirnya akan merusak kedua-duanya. Kita, misalnya, perlu mengangkat pejabat negara semata-mata menurut kriteria keutamaan jejak integritas dan kompetensinya.
Kelima ialah menggunakan momentum amendemen baru atas Undang-Undang Dasar 1945 atau perubahan undang-undang politik untuk memperkenalkan serta mendayagunakan bab aturan peralihan guna mengatasi perangkap-perangkap simalakama yang di awal Era Upaya Reformasi mestinya diatasi lewat Konstitusi Transisional. Dengan memaksimalkan pemanfaatan kecerdasan serta daya temu politik dan hukum bangsa kita pada aturan peralihan, tidak mustahil kita mampu memperkecil atau bahkan meniadakan kekeruhan lanskap akibat perangkap-perangkap simalakama tersebut.
Terakhir ialah dengan sedapat mungkin mengadopsi strategi Pergerakan Kemerdekaan kita, yaitu menarik garis pisah antara pihak sini dan pihak sana. Jika dulu kedua pihak ini dibedakan atas dasar perkiblatan pada bangsa penjajah atau bangsa terjajah, kini keduanya harus dibedakan atas dasar perilaku yang membina atau merusak negara atau nasion. Tidaklah sulit mengidentifikasi para pelaku dan rangkaian perilaku khianat-nasion oleh individu maupun partai di sekitar kita sebagai bagian dari pihak sana, dan memperhadapkannya dengan rangkaian perilaku bela-nasion sebagai bagian pihak sini. Selanjutnya, pihak sini wajib menggalang dan meningkatkan kerja sama dan jaringannya untuk menghadapi pihak sana. Kiat pihak sini-pihak sana yang di permukaan tampak konfrontatif sesungguhnya tak lain dari jalan menuju reintegrasi nasional di atas dasar-dasar politik yang lebih bajik dan lebih kukuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo