Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Todung Mulya Lubis
Siapa yang tak kenal dengan pemain Manchester United, Cristiano Ronaldo, salah satu pemain termahal yang sangat piawai mengolah bola dan menjaringkannya ke jala lawan. Di Indonesia, namanya makin terkenal karena dia pernah datang ke Aceh melihat korban tsunami. Dia menemui seorang anak, Martinus, pengagum beratnya, yang selama 19 hari terkatung-katung seusai tsunami. Untuk anak kecil itulah Ronaldo datang memberikan empati.
Kolom ini tak bermaksud menguraikan kepiawaian Ronaldo. Saya hanya ingin mengulas pendapat tajam Presiden Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA), Sepp Blatter, tentang alotnya proses kepindahan Ronaldo dari Manchester ke Real Madrid karena klub Inggris itu tak ingin melepasnya. Blatter mengibaratkan Ronaldo sebagai korban perbudakan modern.
Pernyataan Blatter ini jelas ditujukan kepada Manajer Manchester, Alex Ferguson, yang menolak keinginan Ronaldo untuk pindah. Tim Setan Merah itu tak berniat menjual Ronaldo dengan harga berapa pun. Bagaimanapun, Ronaldo masih terikat kontrak sampai 2012.
Kita bisa memahami mengapa Manchester mempertahankan Ronaldo, yang tahun ini mencetak 42 gol. Dia punya andil besar mengantar Manchester merebut gelar Liga Inggris dan Liga Champions. Ronaldo adalah roh Manchester. Perannya yang besar ini juga sudah dibayangkan sejak ia dibeli dari Sporting Clube de Portugal pada 2003 dan diberi kaus bernomor tujuh, yang di Old Trafford merupakan angka bertuah karena hanya dipakai mahabintang.
Dari sisi ekonomi, Ronaldo bernasib sangat mujur karena dialah pemain Manchester dengan bayaran tertinggi, Rp 2,17 miliar per minggu. Belum lagi penghasilan tambahan sebagai bintang iklan. Pada usia yang baru 23 tahun, ia telah mencapai puncak dan bisa mendapatkan apa saja. Masa lalunya yang miskin tak akan pernah kembali. Tapi bermain di Madrid adalah mimpinya sejak kecil.
Apa yang sesungguhnya terjadi? Persoalan yang dialami Ronaldo juga dialami oleh banyak pemain lain. Kepindahan pemain memang soal pelik karena benturan kepentingan antara klub dan sang bintang. Kompetisi ketat menuntut tersedianya pemain hebat yang bisa mendongkrak prestasi klub, yang pada gilirannya akan menaikkan pendapatan. Jadi persoalan di sini bukanlah semata-mata prestasi klub, melainkan juga revenue. Semua persoalan ujung-ujungnya adalah bisnis yang skalanya fantastis. Dalam konteks ini, tepatkah pernyataan Blatter bahwa telah terjadi perbudakan modern dalam kancah sepak bola profesional karena pemain tidak bisa lagi mengikuti kata hatinya?
Saya kira tidaklah fair melemparkan tuduhan bahwa yang bersalah adalah klub karena menghalangi pemain pindah. Hendaknya disadari bahwa pembelian pemain adalah investasi yang merupakan keputusan bisnis, dan ada kalanya biaya besar itu tak membuahkan hasil karena pemain terus-menerus cedera. Bisa jadi pemain yang sering cedera akan turun harganya, sehingga jangankan untung, balik modal saja tidak. Jadi selalu ada soal untung-rugi dalam setiap pembelian pemain, yang notabene merupakan keputusan bisnis.
Dalam bisnis ada soal kepastian hukum, dan di sini kita dihadapkan pada hal yang sama. Semua pemain yang dibeli selalu terikat klausul perjanjian, dan dalam hukum sebuah perjanjian yang ditandatangani berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Dalam ilmu hukum ini disebut sanctity of contract, dan ini tak bisa dilanggar. Apabila sebuah kontrak dapat dilanggar, industri sepak bola akan hancur, dan bisnis juga berantakan. Saya kira pernyataan Blatter mengandung bahaya besar karena merusak kepastian hukum dalam industri sepak bola.
Saya tak menyangkal bahwa bisa saja Ronaldo jenuh, tapi sangat tidak bijak kalau untuk perpindahan itu ia menyetujui pernyataan bahwa ia korban perbudakan modern. Seyogianya kepindahan harus dilakukan secara beradab, dan para pihak tentu bisa berunding. Namun, apabila perundingan gagal, konsekuensi logisnya adalah pemain harus bertahan sampai kontraknya berakhir.
Para pemain profesional memang tak boleh menjadi sandera klub, tapi membiarkan mereka sesukanya pindah tanpa menghormati kontrak sama artinya dengan merusak industri sepak bola. Di sini apa yang dikatakan legenda Brasil, Pele, ada benarnya: ”Anda menjadi budak jika Anda bekerja tanpa kontrak dan tidak mendapat bayaran.” Ronaldo jelas punya kontrak, mendapat bayaran, dan karena itu bukan budak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo