Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kenaikan PPN di tengah stagnasi ekonomi ini menjadi ancaman bagi ekonomi masyarakat.
Konsep keamanan ontologis, menurut Anthony Giddens, adalah stabilitas terhadap kondisi atau kenyamanan situasi sosial di masyarakat.
Ketiadaan keamanan ontologis bakal memberikan efek negatif terhadap perkembangan dunia usaha.
RENCANA kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen tengah menjadi topik pembahasan yang hangat akhir-akhir ini. Jika tidak ada aral melintang, pemerintah akan menerapkan kebijakan tersebut pada 1 Januari 2025.
Kenaikan PPN itu diklaim sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tentu saja rencana ini menimbulkan beragam pro-kontra mengingat situasi ekonomi saat ini oleh sebagian kalangan dianggap sedang lesu. Hal ini terlihat dari penurunan daya beli masyarakat yang tecermin pada data Badan Pusat Statistik mengenai deflasi ekonomi Indonesia selama lima bulan berturut-turut sejak Mei 2024 hingga September 2024.
Kenaikan PPN menjadi 12 persen disinyalir sebagai upaya pemerintah meningkatkan pendapatan negara melalui pajak. Meningkatnya beban tanggungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai dampak dari rencana pelaksanaan program populis pemerintah, seperti makan siang gratis, bantuan sosial, hingga keberlanjutan proyek pembangunan Ibu Kota Nusantara, tentu mendorong pemerintah untuk terus mencari cara agar defisit APBN tidak makin lebar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sisi lain, kenaikan PPN di tengah stagnasi ekonomi ini menjadi ancaman bagi keberlangsungan roda ekonomi masyarakat. Khususnya bagi para pengusaha yang kini tengah mengencangkan sabuk pengaman untuk bisa bertahan. Penurunan daya beli masyarakat tentu berimbas pada pendapatan sebuah perusahaan. Masyarakat yang memiliki keterbatasan daya beli tentu akan lebih selektif dalam melakukan aktivitas konsumsi.
Agar bisa bersaing, pengusaha suka tidak suka dan mau tak mau mesti menurunkan margin keuntungannya yang akan makin tipis apabila kebijakan kenaikan PPN ini tetap dilakukan. Imbasnya, perusahaan pun wajib melakukan efisiensi, seperti restrukturisasi utang-piutang hingga pengurangan jumlah karyawan, agar perusahaan tetap bisa berjalan. Tentu saja peningkatan jumlah pemutusan hubungan kerja oleh perusahaan berisiko melahirkan beragam permasalahan sosial yang lebih kompleks bagi masyarakat, pemerintah, dan perekonomian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apabila ditinjau secara sosiologis, pengusaha merupakan agen pergerakan ekonomi sebuah negara yang dengan kesadaran praktisnya melakukan berbagai tindakan untuk melahirkan perubahan. Pemerintah sebagai penentu kebijakan yang memiliki segala sumber daya dapat diposisikan sebagai struktur. Dalam interaksi antara agen dan struktur yang ideal, hendaknya terdapat sebuah hubungan yang bersifat dualitas atau saling mendukung, sehingga mampu memberikan sebuah keamanan ontologis bagi agen dalam menjalankan kesadaran praktisnya.
Konsep keamanan ontologis, menurut Anthony Giddens, adalah sebuah situasi stabilitas terhadap kondisi atau kenyamanan terhadap situasi sosial yang tengah terjadi di masyarakat. Pemerintah sebetulnya berupaya menciptakan stabilitas itu melalui kepastian hukum. Misalnya lewat penerbitan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2022 tentang Pengembangan Kewirausahaan Nasional 2021-2024.
Aturan itu menetapkan kenaikan target rasio kewirausahaan sebesar 4 persen yang dicapai melalui kemudahan akses perizinan, pembukaan akses pelatihan, serta akses pembiayaan. Penerbitan aturan itu, seperti diklaim Kementerian Koperasi dan UMKM pada Oktober 2024, mampu mendorong peningkatan rasio kewirausahaan sebesar 0,49 persen, dari sebelumnya 2,86 persen pada 2022, menjadi 3,35 persen.
Peningkatan rasio tersebut dapat diinterpretasikan bahwa agen (pengusaha) mampu melakukan berbagai tindakan untuk mengembangkan usahanya sekaligus menciptakan perubahan dalam tatanan sosial. Hal tersebut tidak akan terjadi jika agen tidak diberi ruang berkembang sebagai implikasi hadirnya keamanan ontologis bagi mereka.
Berkaca dari konsep tersebut, kebijakan kenaikan PPN sebesar 12 persen akan menjadi ancaman bagi keamanan ontologis pengusaha Indonesia. Letak ancaman tersebut berada pada lahirnya ketidakpastian ekonomi akibat peningkatan harga dan terkikisnya margin keuntungan. Akibatnya, ruang bagi pengusaha untuk berkembang makin terbatas.
Sebagai ilustrasi, seorang pengusaha yang sebelumnya bisa mengalokasikan keuntungan bisnisnya untuk mengikuti berbagai program pengembangan usaha, atau menyisihkan laba untuk reinvestasi modal kerja, tentu harus berpikir ulang. Ketiadaan keamanan ontologis tersebut mendorong pengusaha menahan tindakan-tindakan berdampak pada terhambatnya pengembangan usaha.
Ketiadaan keamanan ontologis juga berisiko terhadap penurunan motivasi berwirausaha pada masyarakat. Kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai yang berisiko mengakibatkan banyak usaha gulung tikar tentu bakal jadi preseden buruk bagi mereka yang hendak membuka usaha akibat meningkatnya keraguan.
Akhirnya, masyarakat pun terjebak dalam orientasi "pencari pekerjaan" atau job seeker. Alih-alih menciptakan lapangan pekerjaan, mereka harus bersaing ketat di tengah situasi lapangan kerja yang juga menipis sebagai dampak usaha yang gulung tikar maupun efisiensi usaha akibat kenaikan PPN. Hal ini akan melahirkan lingkaran setan ekonomi yang tak berujung. Kondisi ini akan menjadi paradoks karena pemerintah menggagalkan program pengembangan kewirausahaan yang dicanangkan akibat blunder dalam penerapan kebijakan kenaikan PPN.
Ancaman terhadap keamanan ontologis pengusaha akibat kenaikan pajak pertambahan nilai tidak dapat dipandang sebelah mata. Ketiadaan keamanan ontologis juga bakal memberikan efek negatif terhadap perkembangan dunia usaha di Indonesia yang berisiko melahirkan stagnasi ekonomi berkepanjangan.
Sebelum terlambat, pemerintah harus meninjau ulang rencana penerapan kebijakan ini dengan melibatkan pengusaha. Rencana kenaikan PPN menjadi 12 persen tidak boleh menjadi blunder besar yang malah akan menghambat kemajuan ekonomi bangsa dan memukul mundur target pengembangan kewirausahaan nasional.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.