APAKAH Sertifikat Ekspor (SE) suatu dosa? Tidak. Kebijaksanaan pemerintah RI mendorong ekspor dengan memberikan subsidi (yang terselubung dalam SE), adalah perbuatan terpuji. Industri yane baru tumbuh (infant industry) normal jika diproteksi dengan bea masuk, sebagai normalnya sang ibu melindungi bayinya. Perlindungan demikian itu sama dengan subsidi - hanya saja dibayar oleh konsumen, yang terpaksa membelinya lebih mahal dibanding jika bea masuk tak ada. Bahwa eksportir (produk industri) yang baru tumbuh diberi pula subsidi adalah kearifan yang lazim dari pemerintah yang menjadi pelaksana pembangunan, yang pada prinsipnya anti - status quo. Pembangunan adalah politik ekonomi yang hendak mengubah struktur. Karena itulah SE secara mendasar sangat dibenarkan oleh kebijaksanaan pembangunan. Subsidi adalah salah satu strategi. Ia hanya alat, bukan tujuan. SE harus dilihat sebagai suatu kesementaraan . Kepesatan ekspor kita yang terlalu deras ke Amerika Serikat pada 1984 menyebabkan Amerika meletakkan rintangan kuota lebih kerap, dan kemudian memasang palang CVD (countervailing duties). Karena ada bukti bersubsidi, barang kita terancam bea masuk sampai 35%. Berarti, pasar Amerika menjadi tertutup bagi tekstil kita. Sedangkan hampir 60% ekspor 19B4 justru ke Amerika. Untunglah, Menteri Perdagangan Rachmat Saleh melangkah tangkas. Code of Subsidies ditandatangani. Maka, otomatis CVD gugur. Tetapi harus dibayar dengan janji penghapusan subsidi yang terkandung dalam SE dan kredit ekspor. Tapi lalu timbul pertanyaan: Apakah gara-gara tekstil, semua produk ekspor kita ke Amerika menjadi korban CVD? Ya, tentu saja, jika mereka buktikan bahwa komoditi yang bersangkutan telah mengganggu produksi dan pasar Amerika. Kalau begitu, apakah produk elektronik kita, yang terhitung maju di antara nonmigas, terancam di-CVD-kan pula? Ya . . . mimpi bercita-cita selangit itu baik, tetapi lebih baik kalau mau mimpi setelah tidur bukan sebelum tidur. Lalu bagaimana halnya dengan kayu lapis kita yang meningkat hebat ekspornya itu jika di-CVD-kan? Mungkin ada baiknya kita sama menyegarkan pengetahuan ilmu bumi kita, sehingga bisa menyaring perlu tidaknya hal ini dipersoalkan. Adapun code of subsidies and countervailing duhes, yang telah disetujui Republik Indonesia itu, sebenarnya adalah kesepakatan tentang tafsir dan penerapan pasal VI, XVI, dan XXIII, berkenaan dengan anti-dumping subsidi, dan pembatalan perjanjian dari Kesepakatan Umum Perdagangan dan Tarif (GATT). Code of Subsidies bukan melarang adanya subsidi - bahkan mengakui bahwa subsidi merupakan alat kebijaksanaan yang dibutuhkan pemerintah. Dalam artikel 14 ayat 1 ditegaskan, subsidi adalah bagian integral program pembangunan ekonomi negara-negara berkembang. Maka, jika ada reaksi berlebihan dari sementara penggede dunia usaha, bahwa sesudah SE (dicabut, ekspor) industri nonmigas kita akan kiamat, dapat dimengerti sebagai pekikan perjuangan kaum swasta demi kepentingan - bukan pernyataan kepandiran. Bagaimanapun dongkrak subsidi, dengan bentuk dan nama apa pun sementara ini masih tetap dibutuhkan, sebagai strategi ke arah perubahan struktur mengimplementasikan sasaran-antara pembangunan. Mempertajam daya saine melalui efisiensi dan peningkatan produktivitas adalah hakikat persoalan. Ekonomi biaya tinggi semestinya dirobohkan. Pabrik marginal yang bermesin kuno dan tidak efisien, yang membuahkan produk mahal atas beban biaya masyarakat konsumen, harus diganti secara radikal. Berikan kredibilitas kepada industriwan yang berhak historis tapi masih bonafide. Restrukturisasi adalah jawaban akhir. SE boleh diganti dan boleh hilang. Tapi momentum ini jangan lenyap: restrukturisasi! H. FAHMY CHATIB Jl Bangunan Timur 2 Rawamangun II, Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini