Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dana Gelap KPU Mengalir sampai Jauh

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono salah besar jika membuang kesempatan untuk ikut memimpin gerakan antikorupsi bersama KPK dalam soal "dana taktis" KPU yang ternyata melibatkan banyak pihak. Kasus yang terjadi adalah contoh khas dari model budaya korupsi di negeri ini. Jika tidak tegas dan berhasil menuntaskan yang ini, niat memberantas korupsi bisa tinggal sekadar angan-angan.

Sebutan "dana taktis" jelas penamaan yang menyesatkan pengertian. Dana yang diperoleh dengan cara dan dari sumber tidak sah itu lebih tepat disebut dana ilegal, dana gelap, atau dana batil. Uang dari para pemasok yang dikumpulkan dalam pot KPU itu tak pantas disebut dana taktis, yang bisa mengaburkan dan melunakkan dosa yang terkandung di dalamnya. Dana taktis sebenarnya adalah jatah khusus yang secara resmi disisihkan bagi keperluan serba-serbi di luar belanja yang bisa dirancang sebelumnya.

Penggunaan dana taktis yang sah harus dilaporkan—walau mungkin dalam catatan tersendiri—dan dipertanggungjawabkan. Tidak demikian halnya dengan dana gelap KPU, yang tidak muncul dalam laporan keuangan yang diaudit BPK. Jadi, benar-benar gelap, karena sengaja digelapkan, baik sumber asalnya maupun pemanfaatannya. Hanya kecelakaanlah yang kemudian membuatnya jadi ketahuan. Jika Mulyana W. Kusumah tidak tertangkap ketika menyuap staf BPK, masalah dana batil yang disimpan dalam bentuk tunai oleh Kepala Biro Keuangan KPU itu tidak akan terbongkar.

Maka, yang pertama menemukannya adalah penyidik KPK, bukan pemeriksa BPK. Hamdani Amin, Kepala Biro Keuangan KPU, ketika diperiksa KPK menerangkan bahwa uang penyuap yang dipakai Mulyana berasal dari dana gelap yang disebutnya sebagai "dana taktis". Jumlahnya Rp 20 miliar, berasal dari "sumbangan sukarela" rekanan pemenang tender logistik Pemilu 2004. Tersangka lainnya, Pelaksana Harian Sekjen KPU Sussongko Suhardjo, menamainya "dana terima kasih".

Dana batil KPU ini ternyata mengalir sampai jauh. Menurut pengakuan Hamdani, mulai staf sekretariat KPU sampai semua anggota KPU ikut mendapat bagian, tanpa kecuali. Semua, begitulah dikatakan Hamdani secara kategoris. Disebutkan juga, aliran dana melimpah sampai ke luar KPU. Benar atau tidak adalah tugas yang tak terelakkan buat KPK untuk membuktikannya. Yang terang—seperti dinyatakan oleh Wakil Ketua KPK Tumpak H. Panggabean—salah seorang di antaranya telah mengembalikan uang senilai Rp 1 miliar yang diterimanya kepada KPK beberapa hari yang lalu. Pemberian itu diterima pada Agustus 2004. Mengembalikan uang yang diperoleh secara melawan hukum ini tak menghapus tindak pidananya, kata Wakil Ketua KPK itu. Tentu saja.

Kendatipun Hamdani mengatakan semua dapat bagian, hampir semua anggota pimpinan KPU menyangkal dengan berbagai cara. Umumnya mereka menyatakan tak mengetahui tentang dana yang tidak sah itu. Namun, jendela pengakuan agak terbuka sedikit ketika Hamid Awaluddin, mantan anggota KPU yang sekarang Menteri Hukum dan HAM, membenarkan bahwa dia pernah beberapa kali menerima honorarium tambahan di samping uang kehormatan bulanan—atau gaji—yang sifatnya resmi. Resmi, karena dia menandatangani tanda terima, dan honorarium sampingan itu diperoleh sebagai imbalan kegiatan di berbagai kelompok kerja KPU.

Menteri Hamid dan anggota KPU lainnya mungkin tidak menyadari sifat batil honorarium tambahan yang diterima karena polos atau naif. Atau, dengan agak munafik pura-pura tidak tahu dan tidak peduli. Kedua-duanya sama-sama salah, karena prima facie—sebagai petunjuk awal—menerima sesuatu yang bukan haknya adalah tindakan melawan hukum. Melengkapi yang salah dengan prosedur administratif—seperti menandatangani tanda terima—bukanlah membuatnya jadi suatu kebenaran, melainkan paling tidak suatu kecerobohan.

Menjadi lebih ironis jika seorang Hamid Awaluddin memang betul tak bisa memisahkan mana yang hak dan yang batil, kemudian dipercaya menjadi Menteri Hukum dan HAM. Baik KPK maupun Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus tegas. Menurut undang-undang, KPK berwenang memerintahkan agar seorang tersangka diberhentikan sementara dari jabatannya oleh atasannya. Presiden Yudhoyono juga bisa menuntut agar menterinya mengindahkan tata krama politik, untuk minta diberhentikan sementara, bahkan sebelum ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.

Presiden dan Menteri Hamid mungkin bisa mencari-cari alasan, untuk tidak merasa malu, seakan-akan tak terjadi apa-apa dan melanjutkan kegiatan seperti biasa. Kalau itu pendiriannya, baik kita katakan di sini dan saat ini, rakyatlah yang akan merasa risi. Jika kurang sejalan dengan KPK dan mencoba meringankan masalah dana batil KPU, tak tertutup kemungkinan bagi pemerintah untuk dituduh bersikap kontra terhadap gerakan antikorupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus