Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Karena Presiden Bukanlah Dewa

Pasal penghinaan terhadap presiden kembali memakan korban. Biar lebih selaras dengan semangat konstitusi, sebaiknya pasal itu dihapus saja.

16 Mei 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HARUSKAH warga negara dihukum demi menjaga martabat presiden? Kalau pertanyaan ini disodorkan kepada Monang Tambunan, seorang aktivis mahasiswa di Jakarta, dia akan menjawab: tidak. Tentu dia juga menganggap hukuman enam bulan penjara yang ditimpakan kepadanya oleh Pengadilan Jakarta Pusat, akibat memaki Presiden Yudhoyono dalam demo anti-kenaikan harga BBM, sangat berlebihan. Wayan Gendo Suardana, aktivis mahasiswa di Denpasar yang membakar gambar Presiden dan kini disidangkan, agaknya sependapat dengan Monang bahwa menghukum rakyat demi menjaga martabat presiden sudah ketinggalan zaman.

Kesan ketinggalan zaman itu bisa disimpulkan dari aturan hukum yang dikenakan: Pasal 134 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Orang yang sengaja menghina presiden atau wakilnya diancam hukuman penjara paling lama 6 tahun atau denda. Sanksinya sangat jelas. Tapi batasan mengenai perbuatan menghina itu tidak jelas. Tidak disebutkan, apakah memaki atau membakar gambar presiden termasuk dalam perbuatan menghina. Karena tak jelas, penafsirannya terserah pada alat negara. Di sinilah letak bahayanya. Petugas negara yang punya maksud menjilat kekuasaan akan memakai "pasal karet" ini secara maksimum.

Padahal, perlindungan yang berlebihan terhadap martabat presiden menunjukkan kelemahan sistem hukum: hak berpendapat terkesan lumpuh di depan kekuasaan. Kita bisa paham semangat KUHP itu karena berasal dari zaman kolonial Belanda. Tapi kita patut menyesali jika di zaman reformasi ini martabat presiden perlu dijaga seketat-ketatnya dengan ancaman hukuman berat.

Presiden Yudhoyono perlu membedakan masa pemerintahannya dengan masa pendahulunya. "Pasal karet" itu sering dipakai oleh pemerintah Soeharto. Setelah reformasi bergulir dan UUD 1945 diamendemen, sehingga negeri ini memiliki roh yang lebih demokratis, senjata usang itu semestinya tak dipakai lagi. Kalau pemerintah Megawati pernah memakainya, Presiden Yudhoyono yang dipilih rakyat secara langsung ini seharusnya menghindarinya.

Presiden Yudhoyono bahkan harus meninjau aturan hukum lain yang cenderung membungkam aspirasi rakyat. Pasal-pasal kebencian (hatzaai artikelen) seperti pasal 154, 155, 160, dan 161 juga memiliki semangat sama. Ketentuan-ketentuan itu sering dipakai untuk menyeret insan pers ke pengadilan karena dinilai menghina atau menyebarkan kebencian terhadap pemerintah.

Wayan dan Monang boleh jadi hanya ingin menggugat kebijakan pemerintah. Jika mereka membakar gambar presiden atau memaki, itu hanyalah ekspresi dari kekesalan mereka terhadap sebuah kebijakan. Sebaiknya tidak dianggap memaki pribadi penanggung jawab tertinggi kebijakan itu.

Membuat batasan yang lebih jelas tentang perbuatan menghina presiden mungkin suatu jalan keluar. Cara lain yang lebih simpel, hapus saja pasal tersebut, juga pasal-pasal tentang kebencian, dari KUHP. Dalam kaitan ini, peluang terbuka dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi yang siap menguji pasal-pasal tersebut.

Kekuasaan presiden tak akan goyah dengan dihapuskannya "pasal karet". Para aktivis bisa saja memaki presiden setiap hari, toh akhirnya kelanggengan kekuasaan seorang presiden bergantung pada sokongan rakyat luas lewat pemilu. Jika kebijakannya menyejahterakan orang banyak, lalu apakah satu-dua orang yang memaki akan menggoyahkan kursi presiden? Presiden bukanlah dewa yang perlu dijaga martabat dan kesakralannya dengan seabrek aturan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus