Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dinding rumah Daoed Joesoef ada sebuah lukisan: pantai yang kosong, dengan gelombang bergulung-gulung dari kaki langit. Jika kita simak, buih ombak yang memecah sepanjang pesisir itu membentuk sebuah kaligrafi Arab. Laut seakan-akan mengucapkan kalimat syahadat.
Lukisan itu karyanya sendiri. Daoed Joesoef, yang di masa muda pernah hidup antara lain dengan menggambar poster film, bukan pelukis dengan sapuan kuas yang spontan. Ia lebih seorang perancang bentuk ketimbang seseorang yang ekspresif; kanvasnya lebih digerakkan gagasan. Kalimat kaligrafi itu merupakan statemennya: ia muslim; ia membaca alam sebagai tanda-tanda Allah.
Di tahun 1978-1983, ketika ia Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam kabinet Soeharto, orang tak melihatnya sebagai muslim dengan acuan yang lazim di pesantren. Ia dikenal sebagai menteri yang melarang anak perempuan memakai jilbab di sekolah negeri.
Mereka bilang, ia "anti-Islam".
Saya ragu. Lukisan di rumahnya itu menunjukkan, keyakinan Islamnya adalah keyakinan privat yang tak hendak dibawa-bawanya sebagai label, apalagi dalam tugas kenegaraan.
Mungkin ia mengagumi ide laïcité dalam konsep kenegaraan Prancis: kekuasaan agama tak boleh mencampuri tugas publik. Daoed menempuh ilmu di Universitas Sorbonne, Paris, selama 13 tahun sejak lulus Fakultas Ekonomi UI di tahun 1959. Ia bangga akan dua gelar doktor yang didapatnya di sana, bangga akan kefasihannya menggunakan "bahasa yang indah" itu- yang membedakannya dengan para ekonom segenerasinya seperti Widjojo Nitisastro dan Emil Salim, yang lebih fasih berbahasa Inggris dan Belanda. Daoed bukan saja ingin mengambil jarak dari mereka, yang entah kenapa ia sikapi sebagai "kubu lawan". Bila ia menegaskan diri lebih "Prancis", itu karena ia seorang francophile. Lahir di Medan, sejak kecil ia memimpikan Paris, kota yang di tahun 1906 oleh wali kota pertama Medan, Daniel Baron Mackay, dijadikan model perencanaan ruang.
Tapi bukan hanya Prancis yang membentuk pandangan Daoed Joesoef.
Ia pengagum Bung Hatta: ekonom, negarawan, muslim yang taat- dan yang melihat Indonesia tak hanya dibangun orang Islam. Daoed mengikuti jalan pikiran Bung Hatta yang mempersiapkan konstitusi pertama: "Kalau nanti yang diunggulkan di sini hanya satu agama, yaitu Islam, saya khawatir Negara Indonesia akan pecah...." Itu yang ditulisnya di memoar yang terbit di tahun 2003.
Sejak kecil, ia hidup dengan Indonesia sebagai cita-cita yang tak boleh dicederai. Bapak dan emaknya kenal seorang aktivis dari Jawa yang datang ke wilayah Deli dan hidup di kalangan buruh perkebunan untuk membangun gagasan tentang Indonesia yang tak dijajah. Di awal perang kemerdekaan, pada usia remaja, Daoed mendaftarkan diri jadi tentara di Sumatera Timur; pangkat terakhirnya letnan.
Ia memang "patriot". Tapi ia juga seorang kosmopolitan yang yakin bahwa ke-Indonesia-an akan berkembang subur "dalam taman sarinya internasionalisme", seperti diidamkan Bung Karno. Daoed memuja emaknya di kampung, tapi ia melampaui lingkaran primordial apa pun. Ia seorang rasionalis.
Saya kira ia pelanjut pemikiran Descartes. Orang Prancis dari abad ke-17 ini seorang filosof yang taat beragama, tapi tak meletakkan nalar tunduk di bawah iman. Baginya nalar, rasio, ada di samping iman- bahkan jadi dasar iman.
Tampak, dalam perspektif ini ada pembagian yang jelas: rasio dan yang bukan. Descartes penganjur pemikiran yang claire et distinct: jernih dan tak campur aduk. Dalam cara Daoed Joesoef merumuskan pikirannya, tampak asas claire et distinct itu. Kalimatnya terang dan lempang. Semua disampaikannya murni gejolak, emotif. Tak ada yang abu-abu, kusut, sengkarut.
Sebagaimana Daoed menarik garis antara kehidupan beragama dan kerja kenegaraan, ia juga memisahkan kehidupan akademik dari gairah politik. Ia seakan-akan menegaskan argumen rasionalis Julien Benda dalam La trahison des clercs, yang sering salah ditafsirkan ketika disalin jadi "pengkhianatan intelektual". Seseorang yang mencari kebenaran sebagai tugas dan panggilan cendekiawan tak boleh mencampurkan pencarian itu dengan nafsu politik dan kekuasaan.
Itu dasar konsepnya tentang "normalisasi kehidupan kampus" (NKK) di tahun 1978.
Daoed Joesoef punya satu analogi: seperti di jalan yang sibuk, untuk kendaraan yang menuju ke arah yang sama, harus ada jalur yang terpisah. Perguruan tinggi, yang dibiayai mahal dengan dana publik, pertama-tama harus melahirkan para terpelajar yang ulung tanpa diganggu kegiatan dan interes lain.
Di sini Daoed Joesoef benar- tapi juga salah. Bukankah hubungan kekuasaan niscaya bersengkarut dengan proses "kebenaran", apalagi di perguruan tinggi di Indonesia?
Konsep sang Menteri Pendidikan sendiri akhirnya jadi alat penertiban oleh Orde Baru; proses "kebenaran" yang terbuka lumpuh. Ketika perlawanan berlangsung, itu umumnya hanya dalam kelompok-kelompok tertutup, yang akhirnya hanya saling mengukuhkan asumsi, tanpa penajaman nalar dan pembuktian. Sejak itu, kemandekan daya kritis di kampus berlangsung. Orang lupa: kerja ilmiah pada dasarnya adalah "politik" pembebasan dari doktrin dan dogma.
Saya kira Daoed Joesoef, yang yakin akan iman dan nalar, akan sedih menyaksikan kampus yang ikut dibangunnya hari ini. Tuhan memanggilnya di saat yang tepat.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo