Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kejaksaan Agung membentuk tim penyidik dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai.
Hal ini sebagai tindak lanjut atas laporan Komnas HAM.
Kasus sulit diungkap selama Paniai dan Papua masih dianggap sebagai daerah konflik.
Frans Maniagasi
Koordinator Kelompok Diskusi Sabang-Merauke (Forsam)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 3 Desember 2021, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor 267 Tahun 2021 tentang Pembentukan Tim Penyidik Dugaan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Paniai, Papua, pada Tahun 2014. Pembentukan tim ini merupakan respons terhadap Surat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengenai berkas perkara tersebut. Pembentukan tim penyidik yang diketuai oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Ali Mukartono ini diharapkan dapat menemukan alat bukti untuk mengetahui dan memperkuat dugaan mengenai pelaku pelanggaran hak asasi manusia di Paniai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus tersebut terjadi pada 7-8 Desember 2014 di Enarotali, Paniai, Papua, ketika sekelompok pemuda menegur anggota TNI yang membawa mobil Toyota Fortuner hitam yang berujung pada penganiayaan terhadap para pemuda. Masyarakat kemudian mendatangi kantor polisi dan TNI di Enarotali untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban.
Masyarakat juga memblokade jalan di Kilometer 4 jalan poros Madi-Enarotali di Distrik Paniai Timur. Aparat TNI merespons aksi mereka secara berlebihan hingga terjadi bentrokan. Massa marah dan mengejar tentara hingga ke Lapangan Karel Gobay. Di sana, sambil menari waita, mereka melempari dengan batu sejumlah kantor pemerintah, seperti kantor Distrik Paniai Timur dan Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih. Aparat menembaki massa hingga empat orang meninggal dan puluhan orang lainnya mengalami luka-luka.
Pola aparat TNI merespons tuntutan masyarakat di Paniai dan pada umumnya di Papua telah dibingkai sebagai masalah di wilayah konflik. Paniai dianggap sebagai salah satu daerah konflik di wilayah Pegunungan Tengah, sehingga operasi keamanan menjadi justifikasi dengan alasan untuk membantu Polri.
Pandangan seperti itu menjadi pembenaran atas terjadinya kekerasan. Dengan alasan menciptakan keamanan, aparat TNI melakukan kekerasan yang berlebihan, seperti penangkapan, penahanan, penyiksaan, penganiayaan, penyerangan terhadap penduduk sipil, dan penembakan terhadap orang asli Papua (OAP).
Laporan Komnas HAM mengenai kasus Paniai menemukan dugaan penggunaan senjata laras panjang terhadap 11 korban anak-anak usia 10-16 tahun yang mengalami luka-luka. Empat korban tewas juga diduga akibat penggunaan senjata serupa. Hal ini didukung oleh hasil visum et repertum Rumah Sakit Umum Daerah Paniai yang menunjukkan bahwa luka-luka pada tubuh korban patut diduga dilakukan oleh orang yang terlatih. Namun telah menjadi rahasia umum di Papua bahwa biasanya selongsong peluru maupun bekas tembakan tidak akan ditemukan di lokasi kejadian.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. kemudian membentuk tim terpadu untuk menyelidiki kasus ini. Namun tim ini gagal mengungkap siapa pelaku penganiayaan dan penembakan di sana. Mandat pun dikembalikan kepada Kepolisian Daerah dan Kodam XVIII Cenderawasih untuk melakukan upaya hukum dengan alasan bahwa anggotanya tidak cukup bukti untuk dijatuhi tindakan pidana.
Para saksi kasus ini bahkan mendapat ancaman. Komnas HAM menemukan bahwa saksi dari unsur kepolisian mendapat tekanan dan ancaman untuk tidak menceritakan peristiwa yang diketahuinya kepada siapa pun. Saksi mengaku terancam keselamatannya jika memberikan kesaksian sehingga memohon perlindungan.
Keputusan Kejaksaan Agung untuk membentuk tim penyidikan kasus Paniai memberikan harapan bahwa pemerintah memiliki komitmen dan tekad untuk memeriksa dan membuka kembali kasus ini. Tapi, dengan membaca dan memahami hasil laporan temuan Komnas HAM, rasanya saya pesimistis bahwa tim dapat mengungkap kebenaran dalam kasus ini.
Selama dan sepanjang persepsi bahwa Paniai pada khususnya dan Papua pada umumnya masih dipandang sebagai wilayah konflik, selama itu pula tim apa pun yang dibentuk untuk memeriksa kasus ini tidak akan memberikan kemajuan yang signifikan.
Kasus ini terjadi pada awal kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Saat itu, Jokowi berjanji kepada masyarakat Papua untuk menuntaskan pengusutan kasus Paniai berdarah ini saat menghadiri perayaan Natal bersama Pemerintah Provinsi Papua dan masyarakat di Lapangan Mandala Jayapura pada 27 Desember 2014. Janji itu akan terus ditagih oleh masyarakat Papua.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo