KAPANKAH polisi boleh menembak? Pertanyaan sederhana (dan kuno) ini muncul kembali awal pekan lalu, setelah kita membaca sebuah berita tidak biasa di koran pagi. Syahdan, sebuah tim gabungan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya sedang "memancing" bandar narkoba di sebuah kamar hotel di kawasan Jakarta Pusat. Operasi yang dilancarkan di bawah koordinasi Badan Narkotika Nasional (BNN) itu dikatakan "memiliki tingkat kerahasiaan sangat tinggi".
Di luar pengetahuan tim ini, sebuah tim lain dari Unit I Satuan Reserse Narkoba Polres Metro Jakarta Pusat bergerak menuju sasaran… ya kamar hotel yang itu juga. Singkat cerita, terjadilah semacam "penggerebekan", sejumlah kesalahpahaman, lalu pistol angkat bicara. Korbannya adalah seorang perwira menengah dan seorang bintara tim gabungan, keduanya anggota Direktorat Reserse Narkoba Badan Reserse Kriminal Mabes Polri.
Polisi menembak polisi memang tak monopoli sinema aksi. Tak pula hanya terjadi di negeri ini. Apalagi jika menyangkut urusan yang sangat peka dan bergelimang duit, misalnya narkoba. Kejahatan yang satu ini selalu menyangkut jaringan yang tidak sederhana, merebak ke mana-mana, dan punya "struktur" yang tak kalah canggih dibandingkan dengan organisasi penegak hukum.
Di Indonesia, menurut catatan BNN, kasus penyalahgunaan narkoba sepanjang 2003 meningkat 21,66 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, angka kenaikan itu mencapai 11,2 persen. Indonesia tidak lagi sekadar wilayah transit peredaran narkoba, tetapi sudah "naik peringkat" menjadi "negeri produsen". Bisa dipahami jika aparat keamanan, khususnya kepolisian, memberikan prioritas utama pada penanggulangan kejahatan yang satu ini.
Karena itu tembak-menembak awal pekan lalu itu tentu tak bisa dianggap hanya sebagai "kecelakaan". Pengusutan memang sedang berjalan tapi, sayangnya, banyak pernyataan simpang-siur segera setelah peristiwa memprihatinkan itu. Misalnya, sempat muncul keterangan yang menyatakan tim Polres Metro Jakarta Pusat tak punya surat perintah—yang langsung dibantah oleh komando atasan tim tersebut.
Kronologi kejadian, sepanjang yang tersimak dari media massa, agak membingungkan. Tim pertama, yang menunggu di kamar, dikatakan didukung oleh belasan petugas di sekitar hotel, sementara tim kedua datang juga tak mengendap-endap, bahkan "memperkenalkan diri" kepada manajer hotel. Meski anggota kedua tim berpakaian sipil, agak sulit dicerna bahwa keduanya tak saling mengenal, padahal sama-sama berdomisili di wilayah DKI Jakarta.
Sifat "sangat rahasia" operasi tersebut sepenuhnya bisa dipahami, tapi tak adakah bahasa sandi yang bisa "mempertemukan" kedua tim? Karena itulah dibutuhkan keterangan yang utuh, lengkap, dan tuntas, segera setelah pengusutan awal selesai. Cuma, sebagaimana biasa, investigasi hanya dilakukan oleh satuan internal kepolisian, sehingga ada kekhawatiran laporan yang akan disampaikan ke publik tak bakal lengkap. Belum lagi aroma salah-menyalahkan yang tercium pada awal kisah.
Karena itu, tampaknya, pembentukan Komisi Kepolisian Nasional, yang keanggotaannya melibatkan unsur pemerintah, pakar, dan tokoh masyarakat, semakin terasa urgensinya. Komisi yang pembentukannya sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia ini punya peluang besar untuk menilai kinerja polisi lebih obyektif, termasuk memantau dan menginvestigasi "bocor"-nya manuver rahasia polisi ke jaringan sindikat kejahatan.
Namun tetap tak ada salahnya pengusutan dimulai dari pertanyaan sederhana di awal tulisan ini: kapan polisi boleh menembak? Sebab, dalam kisah tragis pekan lalu itu, tampaknya tembakan dilepaskan tanpa peringatan apa pun, langsung ke dalam kamar yang notabene dihuni oleh sekitar tujuh orang. Selama ini sudah terjadi beberapa kasus "salah tembak" yang merenggut korban tak bersalah. Karena kali ini korbannya juga polisi, alangkah indahnya jika prosedur tembak-menembak ini lebih mendapat perhatian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini