Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal pidana pencemaran nama baik kembali memakan korban. Rambu-rambu hukum warisan zaman penjajah Belanda itu menjadi dalih bagi majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman untuk memvonis Risang Bima Wijaya dengan hukuman 9 bulan penjara. Bekas pemimpin umum koran Radar Jogja ini dinyatakan terbukti bersalah mencemarkan nama baik Soemadi Wonohito melalui serangkaian artikel yang ditulisnya lebih dari dua tahun silam.
Penggunaan Pasal 310 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sebelumnya telah diprotes keras oleh Dewan Pers maupun Aliansi Jurnalis Independen yang berpendapat seharusnya sengketa pemberitaan diselesaikan melalui mekanisme yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Sayang, majelis hakim tak mempertimbangkan produk hukum era reformasi ini dan lebih suka bertumpu pada pasal yang dibuat penjajah Belanda lebih dari satu abad yang lalu.
Yang lebih ironis, para hakim di zaman kemerdekaan ini menjatuhkan putusan yang jauh lebih berat ketimbang hakim-hakim Belanda di masa kolonial, yang lebih sering memvonis hukuman pidana denda untuk kasus penistaan ketimbang hukuman penjara. Pada 1930-an, misalnya, penanggung jawab harian Keng Po dihukum pidana denda 350 gulden untuk kasus yang serupa dengan yang menimpa Risang. Memang, dalam beberapa kasus lain, yang menyangkut pribadi dan bukan pers, ada juga vonis penjara yang besarnya di bawah tiga bulan dan berstatus percobaan.
Untuk pers, pidana pencemaran nama baik kini tak lagi berlaku di Belanda karena bertentangan dengan ketentuan hukum Uni Eropa. Bahkan di Timor Leste, negara muda yang masih menggunakan KUHP warisan Indonesia, pasal-pasal kriminalisasi yang bertentangan dengan asas kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers dicabut karena dianggap melanggar konstitusi.
Di Indonesia, sayangnya, kesadaran terhadap pentingnya kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers untuk menciptakan masyarakat madani belum terlalu tinggi. Memberantas korupsi dan menangkal ancaman kembalinya rezim otoriter tak mungkin dilakukan dengan sukses tanpa prakondisi yang melindungi kebebasan arus informasi. Itu sebabnya, pemerintahan Presiden Yudhoyono, jika memang serius ingin memberantas korupsi dan kolusi dan benar-benar ingin menegakkan demokrasi, seharusnya menjadi pelopor dalam mempertahankan hak dasar warga ini, misalnya dengan memerintahkan jajaran polisi untuk menghormati UU Pers dan meminta Jaksa Agung menggunakan hak deponir untuk membekukan perkara yang mengancam kebebasan berpendapat dan kemerdekaan pers demi kepentingan umum.
Bila mendiang Jaksa Agung Sugiharto saja berani membekukan Pasal 207 KUHP (tentang penghinaan terhadap institusi negara) pada era Orde Baru, mengapa Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh tak berani membekukan pasal-pasal pencemaran nama baik terhadap pers di era reformasi? Ini penting untuk dilakukan sebelum 100 hari masa jabatan Presiden Yudhoyono berlalu, agar tercatat bahwa kemerdekaan pers memang menjadi prioritas pemerintahan baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo