Dalam upaya membina kerukunan hidup beragama, Laporan Utama TEMPO, 19 Desember 1992, mengangkat alternatif cara baru dalam beragama yang ditawarkan Nurcholish Madjid (Cak Nur). Tawaran yang disebutnya ialhanifiyyat alsamhahr itu diartikan sebagai semangat mencari kebenaran yang lapang, toleran, tidak membelenggu jiwa, dan tanpa terikat dengan batasanbatasan komunal. Ini segera didukung oleh J.B. Banawiratma (Kolom), yang menamakan pandangan Cak Nur sebagai ''deinstitusionalisasi agama''. Kalau masalahnya ''hanya'' menciptakan kerukunan, alternatif itu saya nilai terlalu jauh, bahkan cenderung merugikan, terutama agama Islam. Islam bukan agama yang baru turun kemarin sore, sehingga Cak Nur bebas mengartikannya seperti itu. Islam telah lengkap disampaikan Nabi Muhammad SAW 14 abad yang lalu. Untuk memudahkan pembahasan, para ulama terdahulu menjelaskan Islam dengan sistematika sederhana, yakni sebagai aqidah dan syari'ah yang tak bisa dipisahkan. Syari'ah membahas tatanan hidup yang mengatur hubungan manusia dengan penciptanya (ibadah), hubungan manusia dengan dirinya (akhlaq, makanan, pakaian), dan hubungan antarmanusia (muamallah dan uqubat/sanksi). Tatanan yang terakhir inilah, terutama, yang akan porakporanda bila tawaran Cak Nur diberlakukan. Sebab, muamalah selain mengajarkan segala aspek hubungan antarmanusia, juga menentukan institusiinstitusi yang berfungsi melayani, mengawasi, dan memberi sanksi bila tata aturan tersebut dilanggar. Bahkan Islam telah membakukan sistem ekonomi, kemasyarakatan, budaya, pertahanan, dan kenegaraan. Ini diakui oleh setiap orang yang mendalami Islam, tak terkecuali sarjanasarjana nonmuslim. Pengakuan serupa sudah keluar dari ratusan sarjana nonmuslim, misalnya Prof. Harold Archibald Gibb (Inggris) yang mengatakan: ''Islam is indeed much more than a system of theology it is a complete civilization.'' De-institusionalisasi agama berarti membubarkan seluruh institusi yang ada dalam ajaran Islam. Bahkan melepaskan ikatan komunal, yakni rasa in-group atau ukhuwah Islamiyah, menuju teologi universal dan menggantinya dengan ikatan yang lain. Menurut Sawid Qutb, pemikir Islam terkemuka dari Mesir, dua program ini telah lama dilancarkan Barat untuk meruntuhkan sistem kekhilafahan Islam dan memecah belah kesatuan umat Islam. Menurut tokoh Ichwanul Muslimin itu, ini dilakukan antara lain dengan cara melancarkan ghazwul fikri (perang pemikiran) melalui orang-orang yang dididiknya, Tujuannya adalah meragukan umat Islam terhadap ajarannya, Setelah itu khilafah Islam praktis akan kurang mendapat dukungan dari dalam sehingga akan mudah dilumpuhkan, Terjadilah puncak tragedi besamtu, dengan kalahnya Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Istambul pada Perang Dunia I. Dalam hal toleransi, praktek yang dijalankan umat Islam selama kekhalifahan belum runtuh (+ 12 abad) mendapat pujian dari sejarawan nonmuslim. Dalam Historie l'Espagne, Romera Navarro menuturkan: "... Tidak mungkin berbicara tentang dominasi Islam dengan tidak memuji toleransinya, keramahan dan keluhuran pribadi penakluk-penakluk itu. Di bawah pemerintahan mereka, penduduk Spanyol Romawi, dan Visigoth di jazirah itu tetap terpelihara kemakmurannya, hukum-hukumnya, gereja-gereja dan pendeta-pendetanya. Orang-orang Yahudi yang telah dihukum secara keji semasa Kerajaan Visigoth, menikmati kebebasan sepenuhnya dalam pemerin tahan pahlawan- pahlawan Arab itu ..." Demikianlah, dengan institusinyar dengan komu nalnya, umat Islam mampu menunjukkan tolerans yang indah, tanf)a harus mencemari ajarannya. Pia gam Medinah yang sering dijadikan dasar oleh Cak Nur, itu pun dilaksanakan Rasul di bawah institusi dan perundangan Islam Setelah keruntuhan khilafah ini, saya ragu, adakah sistem yang praktek toleransinya sangat dipuji oleh kaum minoritas. Reaksi vulgar sebagian umat Islam yang merusak tempat ibadat umat lain di beberapa tempat, menu, rut saya, lebih disebabkan tidak berfungsinya institusi yang berwenang, Seperti telah disinggung TEMPO, jika institusi itu tegas, penyebab kemarahan umat Islam akan dapat diselesaikan hingga tak mengundang reaksi destruktif, Hal ini juga sangat mungkin disebabkan oleh minimnya pemahaman umat Islam akan ajarannya. Dengan demikian, umatlah yang harus diperbaiki, bukan syariat yang dikebiri. IR.Y.P. SANTOS0 Bogor
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini