Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Defisit Ruang Desa

Desa yang mandiri secara ekonomi dan sosial merupakan tujuan utama pembangunan. Begitulah bunyi amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

31 Mei 2018 | 07.15 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lahan konservasi 370 ha yang dikuasai sejumlah jenderal, pengusaha, dan pengacara di Blok Cisadon atau kawasan Resor Pemangkuan Hutan (RPH) Cipayung-Megamendung dan RPH Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Foto: Avit Hidayat].

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wiko Saputra
Peneliti dari Auriga Nusantara

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Desa yang mandiri secara ekonomi dan sosial merupakan tujuan utama pembangunan. Begitulah bunyi amanat Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Tapi ancaman terhadap kemandirian tersebut justru muncul dari kebijakan pemerintah sendiri, terutama soal tata ruang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak semua desa di Indonesia bebas akses kelola. Hal itu terjadi karena banyak desa yang masuk dalam kawasan hutan. Berdasarkan data dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi pada 2018, dari 74.910 desa di Indonesia, 31.961 desa masuk ke dalam kawasan hutan.

Menurut aturan, masyarakat, kecuali masyarakat hukum adat, tak boleh melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan kecuali kawasan yang sudah diberi hak pengelolaan oleh negara, seperti izin usaha pemanfaatan kawasan hutan. Akibatnya, masyarakat yang bermukim dan menggarap lahan di dalam kawasan hutan kehilangan hak-hak ekonomi dan sosial, sehingga terperangkap dalam kubangan kemiskinan.

Mereka korban dari kebijakan penataan ruang yang tak ajek. Misalnya, desa yang masyarakatnya sudah bermukim turun-temurun di sana, kemudian ditetapkan sebagai kawasan hutan atau transmigrasi yang berkembang membentuk kesatuan wilayah desa, tapi statusnya masih banyak dalam kawasan hutan. Hal itu menyebabkan defisit ruang (lahan) kelola masyarakat.

Defisit ruang desa juga ditemukan dalam kajian Yayasan Auriga Nusantara (2018) tentang fungsi dan tata guna lahan di sepuluh desa di Kalimantan dan Sumatera. Kajian itu menggunakan wahana tanpa awak alias drone. Hasilnya, hanya 12,5 persen dari total luas lahan desa yang bisa secara mandiri dikelola oleh masyarakat. Sisanya adalah kawasan hutan dan budi daya yang sudah diberikan hak kelola kepada perusahaan perkebunan sawit.

Tata ruang yang tak ajek berkelindan dengan kebijakan ego sektoral. Kementerian Desa mendorong percepatan pembangunan desa dengan menggelontorkan anggaran triliunan rupiah lewat Dana Desa. Tapi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melarang aktivitas pembangunan di kawasan hutan. Sedangkan Kementerian Agraria dan Tata Ruang terus mengobral hak guna usaha untuk perkebunan sawit di desa.

Walhasil, dapat dipastikan bahwa dalam jangka panjang Dana Desa sebagai stimulus pembangunan tidak efisien karena keterbatasan ruang desa dalam pembangunan. Inefisiensi Dana Desa juga berisiko menyuburkan korupsi di desa. Korbannya adalah masyarakat desa.

Reformasi tata kelola hutan dan lahan berbasis desa merupakan keharusan. Bertahun-tahun masyarakat desa yang berada di dalam kawasan hutan terjebak dalam kemiskinan. Bertahun-tahun juga mereka menyaksikan sumber kekayaan alamnya dikuras oleh perusahaan (sawit, tambang, dan kehutanan).

Penataan dan inventarisasi kawasan hutan mendesak dilakukan. Hutan harus menjadi modal pembangunan dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan bukan mempersempit penghidupan masyarakat dalam dan sekitar kawasan hutan. Rancang ulang kebijakan kehutanan perlu dilakukan. Kebijakan harus berkelanjutan dan dalam jangka panjang, bukan sekadar kebijakan reaktif dan kuratif tanpa desain dan arah yang jelas seperti saat ini. Contohnya perhutanan sosial dan reforma agraria.

Saya mengusulkan rancang ulang pengelolaan hutan harus masuk ke dalam Rancangan Teknokratik Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 Sektor Kehutanan yang sedang digodok oleh Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. Dengan begitu, ruang kebijakan dan program berkelanjutan dalam menata pengelolaan hutan yang lebih berpihak pada kesejahteraan tanpa menghilangkan fungsinya sebagai penyangga lingkungan akan terbuka.

Untuk jangka pendek, sinergi antar-kementerian/lembaga serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah perlu diperkuat agar inefisiensi penggunaan anggaran dan tumpang-tindih program tidak lagi terjadi. Apalagi semangat membangun desa dengan gelontoran Dana Desa perlu diefektifkan sebagai stimulus pembangunan dan bukan sumber bancakan korupsi seperti yang terjadi saat ini.

Wiko Saputra

Wiko Saputra

Peneliti Kuala Institute

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus