Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari mana datangnya kebencian?
Tiap hari di aula itu kursi-kursi ditata, menghadap ke sebuah layar besar. Para pegawai kementerian itu--disebut Kementerian Kebenaran--duduk berderet. Jam sebelas itu upacara "Dua-Menit-Kebencian".
Dalam novel 1984, adegan ini bagian kehidupan di Oceania, sebuah negeri yang diciptakan George Orwell, sang novelis, untuk membuat kita ngeri akan kekuasaan totaliter abad ke-20. "Dua-Menit-Kebencian" adalah mekanisme pengarahan pikiran rakyat. Partai, yang dipimpin "Bung Besar", menunjukkan kuasanya yang lengkap: memonopoli kekerasan dan teknologi, mengontrol jiwa manusia.
Di layar, tampak seraut wajah pipih berjanggut seperti biri-biri; tatapan matanya pintar tapi memuakkan: Emmanuel Goldstein, sang Musuh Rakyat. Ia dikenal, sebab diceritakan berulang kali, sebagai pencemar kesucian Partai. Ia telah dijatuhi hukuman mati tapi secara misterius raib. Dikatakan ia hidup entah di mana dan berkomplot dengan musuh; mungkin di seberang lautan, dilindungi cukong asingnya, mungkin bersembunyi di wilayah Oceania sendiri.
Bersama wajah Goldstein yang misterius itu di layar itu tampak ribuan manusia "Asiatik" yang melintas dalam barisan: tentara Eurasia. Suara Sang Pengkhianat yang sumbang melengking diiringi derap sepatu tentara musuh itu.
Eurasia, musuh Oceania. Eurasia, selalu mengancam.
Film itu tak lama. Tapi seperti biasa, pada menit kedua, para penonton berdiri dan berteriak murka. Seorang perempuan memekik, "Babi! Celeng! Babi!" dan melempar wajah Goldstein di layar itu dengan sebuah buku tebal. Para hadirin beringas, ingin membunuh, menyiksa, menghantamkan martil.
Dan wajah Sang Musuh berubah jadi wajah biri-biri....
Kebencian, dalam 1984, adalah emosi yang dikerahkan. Kebencian itu sendiri sebuah tenaga, dan mobilisasi selama dua menit tiap hari itu menghasilkan tenaga tambahan. Ia dibangun kemarahan dan membangun kemarahan; ia memproduksi ketakutan dan diproduksi ketakutan. Ia dihimpun oleh Musuh yang selalu disodorkan.
Ketika semua berlangsung secara kolektif, rutin, diawasi, orang-orang pun berubah: mereka merasa berdaya, adrenalin naik, imajinasi ganas, bahasa mereka tercetus antara kesadaran dan bawah-sadar. Politik totaliter--yang ingin mengubah manusia seutuhnya--berhasil.
Kita, hari ini, tak hidup dalam imajinasi Orwell. Tapi temperamen totaliter hadir. Ada Sekian-Menit-Kebencian yang rutin di ceramah dan khotbah-khotbah. Ada anak-anak yang berbaris di jalan Jakarta meneriakkan yel, "Bunuh Ahok! Bunuh Ahok!"--sementara orang yang jadi sasaran sudah disisihkan di rumah tahanan. Bukan mustahil bila tak lama lagi akan ada teriakan, "Habisi kafir!"--dan, seperti Goldstein yang dikonstruksikan tak habis-habis, "kafir" pun bisa diciptakan ketika tenaga tambahan perlu dimobilisasi.
Bukan kemarahan yang akhirnya menguasai percakapan politik. Kebencian: sesuatu yang lebih destruktif.
"Meskipun kemarahan, sama seperti kebencian, sebuah perasaan yang membara," tulis Niza Yanay dalam The Ideology of Hatred, "kemarahan berbeda; ia bisa melahirkan respons yang konstruktif dan transformatif...."
Kemarahan tak semata-mata mampu menghancurkan; ia juga mampu membangun, seperti tampak dalam gerakan melawan kolonialisme dan rasisme, yang berakhir dengan kesetaraan di antara sesama. Sebaliknya kebencian: sebagai unsur utama dalam hasrat totaliter, ia tak mengakui liyan kecuali yang sudah diubah. Ia ingin melumatkan yang "bukan-kita".
Yang merisaukan, kebencian kuat dan cekatan. Penyair Polandia, Wislawa Szymborska, menggambarkan kebencian zaman ini dengan mudah "meloncat, melampaui rintangan yang tertinggi". Kebencian juga "tak pernah bosan dengan dorongan utamanya--sang algojo yang rapi yang tegak di atas korbannya yang tercemar".
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo