Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dengan Pajak, Menyiasati Kesenjangan

Sebagai sumber penghasilan terbesar bagi APBN, pajak harus dikelola secara benar, sehingga barulah bisa dijadikan alat untuk pemerataan.

5 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA di suatu negeri terdapat orang-orang yang kekayaannya berlebihan, pasti di situ juga ada penduduk yang tingkat kemiskinannya berlebihan. Ini barangkali semacam hukum besi, dengan beberapa kekecualian seperti yang bisa ditemukan di Kuwait dan Arab Saudi. Tapi, di hampir semua negara berkembang, termasuk Indonesia, perbedaan tingkat kesejahteraan itu bagaikan bumi dan langit. Daftar orang kaya majalah Forbes, misalnya, selalu diramaikan dengan nama-nama yang kita kenal, seperti Soeharto, Bob Hasan, Eka Tjipta Widjaya, Liem Sioe Liong, dan terakhir Rachman Halim dan Putera Sampoerna. Di negeri ini ternyata jumlah orang kaya dan teramat kaya tidak menyusut. Krisis yang berkepanjangan pun tidak membuat mereka gentar. Grup Salim, yang belum melunasi utangnya kepada BPPN, kabarnya berusaha keras membeli kembali BCA. Jangan tanya uangnya dari mana. Hal ini berbanding terbalik dengan penduduk miskin yang jumlahnya berlipat ganda, sementara tingkat kemiskinannya semakin parah. Untuk mengatasi kesenjangan, Jaring Pengaman Sosial (JPS) tak akan ampuh. Sistem ekonomi kerakyatan pun, kalau misalnya ada, tak akan mampu berbuat banyak. Desentralisasi ekonomi memang diperkirakan akan lebih cepat mengatasi hal itu. Namun, kita semua tahu, implementasinya tersendat-sendat. Dalam kondisi ekonomi yang kini tidak menentu arah pemulihannya dan ketika beban utang telah membuat negara layak dinyatakan bangkrut, tuntutan untuk melenyapkan kesenjangan nyaris tersisihkan. Bersikukuh dengan JPS dan ekonomi kerakyatan malah akan terasa aneh. Nah, majalah ini mengusulkan agar perpajakan dijadikan instrumen untuk secara bertahap menyeimbangkan tingkat kesejahteraan yang begitu jomplang. Apakah usul itu juga tak masuk akal? Sebenarnya, sistem pajak yang paling efektif pun belum menjamin bahwa kesenjangan bisa diatasi. Apalagi kalau sistemnya self-assessment seperti yang diterapkan di sini. Sistem ini mengandalkan kesadaran wajib pajak untuk melaporkan kekayaannya secara jujur, padahal kesadaran itu justru rendah sekali. Di sisi lain, aparat pajak sangat rentan dengan praktek KKN. Mari bandingkan dengan sistem pajak di negara maju, yang terkesan cukup luwes, dalam pengertian persentase pajak bisa tiap kali disesuaikan dengan tingkat kemakmuran pada masa tertentu. Yang tidak berubah adalah prinsipnya, yakni uang pajak digunakan untuk membiayai penyelenggaraan negara dan mendistribusikan rezeki ke segala arah. Biasanya, persentase pajak yang besar dikenakan pada wajib pajak yang penghasilannya juga besar. Di Swedia, orang yang pendapatannya jutaan dolar dikenai pajak penghasilan 50 persen. Melalui manajemen yang teruji, uang pajak mengalir utuh ke kas negara, lalu dikembalikan ke masyarakat, sehingga kesenjangan relatif terkendali. Pola seperti itu dapat saja diterapkan di Indonesia, asalkan petugas pajak bertindak selaku petugas pajak dan bukan sebagai tukang palak. Juga asalkan wajib pajak melaporkan kekayaan sejujurnya dan bukan malah menyombong masuk daftar orang kaya sejagat tapi di negeri sendiri mengaku tak punya uang sesen pun. Mendongkrak volume penerimaan pajak—melalui ekstensifikasi ataupun intensifikasi—tanpa memperbaiki sistem dan tanpa law enforcement, juga tanpa mengelantang mental aparatnya, tentu tak akan pernah membawa hasil maksimal. Program pengelantangan mental aparat, misalnya, belum sekali pun terdengar sampai sekarang. Tapi, kebetulan sekali, upaya memperbaiki sistem pajak yang kita harapkan itu kini dapat disatupaketkan dengan momentum penyelamatan APBN. Jadi, cobalah menggunakan momentum ini demi kepentingan masyarakat luas, termasuk memanfaatkan pajak untuk mengurangi tingkat kesenjangan secara bertahap.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus