Awal tahun ajaran baru adalah masa "panen" bagi para pengurus di beberapa sekolah. Yang "dituai" adalah orang tua murid yang nilai ebtanas anaknya di bawah batas terendah (passing grade) sekolah tersebut.
Karena itu, pada hari pertama siswa baru, Senin tiga pekan lalu, murid-murid Sekolah Menengah Umum Negeri 10 Bandarlampung terheran-heran. Teman mereka yang nilainya di bawah 39—batas nilai terendah SMUN 10—ternyata bisa masuk sekolah itu. Misalnya, Bambang (bukan nama sebenarnya), yang cuma bermodal nilai 37,78.
Bagaimana caranya, sehingga Bambang bisa masuk, sementara namanya tak tercantum dalam daftar siswa baru yang diterima di sekolah favorit di Bandarlampung itu? "Saya mengancam Bapak, kalau tidak masuk ke sini, saya tak mau sekolah lagi,'' kata Bambang kepada TEMPO.
Terang saja, orang tua Bambang kalang-kabut. Sebagai anggota legislatif pusat, si Bapak memanfaatkan kemampuan lobinya. Dia mendapat informasi, sekolah menengah di ibu kota Provinsi Lampung itu masih membuka kesempatan bagi orang tua yang mau mendaftarkan anaknya. Tentu dengan sedikit uang ekstra. "Saya langsung menghubungi sekolah," kata bapak dua anak itu. Setelah lewat negosiasi, akhirnya harga tiket khusus itu disepakati Rp 1,5 juta. Harga ini lima kali lebih mahal daripada biaya pendaftaran murid lain yang masuk secara resmi.
Kejadian serupa dialami orang tua murid di Jakarta. Seorang ibu mengeluh karena anaknya gagal masuk ke salah satu sekolah favorit di wilayah Jakarta Selatan. Dia mengakui nilai ebtanas anaknya memang tak cukup. Namun, yang menyesakkan hatinya, kabarnya, sekolah tersebut menerima siswa lain yang nilainya lebih rendah, karena membayar Rp 10 juta.
Di Surabaya, masalah rebutan bangku ini sampai menimbulkan unjuk rasa. Penyebabnya, SLTP Negeri 18 Surabaya tiba-tiba menaikkan batas nilai terendah siswa yang diterima. Pada pengumuman pertama dipatok angka 37,15. Namun, esok harinya sekolah mengubahnya menjadi 37,45. Memang, selisihnya hanya 0,30, tapi cukup membuat 61 siswa terpental. Orang tua siswa yang jadi korban mencak-mencak. Mereka langsung berunjuk rasa ke kantor Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Surabaya. "Ini ada udang di balik batu, ada uang dari murid baru," begitu gugatan mereka. Maksudnya, jangan-jangan ada niat sekolah menjual bangku yang ditinggalkan.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Rasiyo, akhirnya memutuskan SLTP Negeri 18 harus memakai passing grade pertama, meskipun akhirnya mereka kelebihan murid. "Sekarang kasusnya diambil alih pemerintah Kota Surabaya," kata Rasiyo.
Jual-beli bangku kosong saat penerimaan siswa baru terjadi hampir setiap tahun. Penyebabnya antara lain karena siswa yang sudah diterima ternyata tidak melakukan daftar ulang. Namun, ada juga sekolah yang mendapat restu menambah bangku untuk meraup uang, seperti yang terjadi di SMUN 10 Bandarlampung. "Kita sedang butuh uang untuk menambah bangunan," kata Fatma Asri, Kepala Sekolah SMUN 10. Nah, cara paling gampang, dengan memasukkan 42 siswa selundupan. Hasilnya, sekolah ini bisa mengumpulkan uang Rp 72 juta. Lumayan.
Menurut Fatma, keputusan menerima murid susulan ini sudah mendapat persetujuan dari orang tua siswa yang tergabung dalam Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan (BP3). Fatma kemudian menunjukkan sebundel surat sakti. "Setelah pengumuman siswa baru, surat sakti berdatangan, jumlahnya lebih dari seratus," katanya.
Selain itu, sekolah sudah mendapat persetujuan Dinas Pendidikan Bandarlampung, dua hari setelah pengumuman resmi siswa baru. Bukan hanya menyetujui SMUN 10, Dinas Pendidikan Bandarlampung pun mengizinkan empat sekolah untuk menambah jumlah kelas. Selain itu, ada delapan sekolah lain yang mengajukan penambahan siswa per kelas dari 42 menjadi 48.
Kantor Wilayah Departemen Pendidikan Nasional (Kanwil Depdiknas) DKI Jakarta juga mengeluarkan izin penambahan 2.000 bangku. Menurut Alwi Nurdin, Kepala Kanwil Diknas DKI Jakarta, penambahan itu untuk wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan. "Penambahan itu karena ada siswa yang belum tertampung sekolah," kilah Alwi. Penyebabnya, modal nilai siswa tersebut kurang, sementara untuk masuk swasta mereka tidak mampu membayar. "Jadi, mereka ini dari keluarga miskin," kata Alwi.
Namun, Alwi berjanji, jika ada sekolah yang terbukti menjual bangku kosong, pihaknya akan menindak. Seperti pengalaman tahun lalu, 15 kepala sekolah mendapat teguran dari Kanwil Diknas. Tiga orang di antaranya dimutasi dari tempat kerjanya. Yang mengherankan, mengapa tahun ini terjadi lagi. Tidak kapok?
Agung Rulianto, Fadilasari (Lampung), Wahyu Dhyatmika (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini