Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Di Jalan Keselamatan Memang Absen

Tidak ada kemauan untuk memperbaiki kekeliruan yang sudah telanjur terjadi bertahun-tahun.

28 Juni 2023 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Warga mengayuh sepedanya saat melintas di jalan MH Thamrin, Jakarta, Selasa, 30 Juni 2020. Untuk menyikapi maraknya penggunaan sepeda sebagai sarana transportasi oleh masyarakat, Kementerian Perhubungan menyiapkan regulasi terkait keselamatan pesepeda yang meliputi pemantul cahaya bagi pesepeda, jalur sepeda, serta penggunaan alat keselamatan. ANTARA FOTO/Nova Wahyudi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seorang pengguna sepeda, kurir perusahaan jasa pengantaran, tewas dalam perjalanan menuju Angke, Jakarta Barat, karena sopir sebuah truk kontainer menabraknya. Merespons kejadian pada Senin lalu itu seseorang di satu grup WhatsApp berkomentar dengan kutipan berikut: “Roads are never meant to be a safe environment.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jalan tidak pernah dimaksudkan sebagai tempat yang aman….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Perkataan itu mungkin akan menimbulkan kesan berupa hal ini pada sebagian orang: tepuk jidat.

Walau kedengarannya benar, pernyataan itu sebetulnya bisa menyesatkan. Sebab kesan yang terbentuk adalah secara normal memang begitulah jalan, bahwa ia bukan saja merupakan tempat yang berbahaya, melainkan juga memungkinkan bahaya itu merajalela tanpa kontrol; atau, paling tidak, ia adalah environment yang akan selalu menimpakan kesalahan kepada siapa saja yang justru berpotensi menjadi korban dari bahaya yang ada.

Tentu saja, tak salah bila ada yang jadi merasa kasihan kepada pejalan kaki, pengguna sepeda, dan terlebih lagi kaum penyandang disabilitas. Mereka adalah para pengguna jalan yang lemah, yang menghadapi risiko diserempet, ditabrak, dilindas. paling tidak dihardik.

Tidak adil? Betul belaka. Dan seharusnya tidak demikian.

Tetapi kondisi itu bukan sesuatu yang ada begitu saja, atau berevolusi secara “alami”. Ia sebetulnya merupakan buah dari kebijakan yang telah diterapkan puluhan tahun, yang mengadopsi kebijakan yang berlaku hampir di semua negara maju. Bisa saja hal ini disebut hasil dari sebuah rekayasa sosial. Dalam kebijakan ini satu hal jelas menjadi “panglima”-nya: memprioritaskan jalan bagi kendaraan bermotor.

Di Indonesia, adopsi itu dilakukan begitu saja bahkan tanpa mengenal konsep yang berlainan mengenai jalan sebagai street dan jalan sebagai road. Bahasa kita tak punya istilah yang mengakomodasi perbedaan ini. Kita menyamakan keduanya. Ini hal mendasar, sebetulnya.

Jalan sebagai street adalah jalan dengan lingkungan bangunan yang merupakan area permukiman dan pusat kegiatan publik–sosial, ekonomi, budaya. Jalan sebagai road, sebaliknya, adalah laluan yang semata-mata menghubungkan dua tempat.

Street, berdasarkan definisinya, ada di lingkungan perkotaan. Road terdapat di luar kota. Dalam praktiknya kemudian ada juga jalan di dalam kota yang berfungsi layaknya perkawinan antara street dan road, biasa disebut stroad.

Jika dirunut sejarahnya, jalan sebetulnya bermula sebagai ruang terbuka yang inklusif. Jalan merupakan tempat manusia melakukan kegiatan: ia seperti panggung, yang memungkinkan hadirnya pertemuan dan pertukaran barang, budaya, pengetahuan, gagasan. Sampai pertengahan abad ke-20, ketika mobil sudah beberapa dasawarsa berperan sebagai moda transportasi, jalan masih merupakan sistem pergerakan dan kehidupan sosial serta ekonomi.

Perubahan terjadi pada 1960-an dan 1970-an, ketika penemuan-penemuan berskala besar yang menyangkut kehidupan di perkotaan mengutamakan pentingnya lalu lintas. Hal ini meminggirkan, itu tadi, pertemuan dan pertukaran barang, budaya, pengetahuan, dan gagasan.

Dengan ikut campurnya industri otomotif, khususnya di Amerika Serikat, perubahan itu berlangsung dalam derap yang cepat dan jadi mapan. Dan ini terus terjadi.

Salah satu wujud dari peran industri otomotif yang harus diakui jadi menghegemoni kebijakan pembangunan perkotaan adalah lahirnya peraturan yang melarang orang sembarangan menyeberang jalan. Idenya timbul manakala konflik antara pejalan kaki dan pengendara mobil, sebagai “aktor” baru di jalan, mulai meningkat. Tindakan menyeberang sembarangan itu disebut jaywalkingistilah yang dipromosikan dengan gencar oleh industri otomotif dan para sekondannya di Amerika sejak 1920-an. Pelakunya dikenai sanksi hukum.

Hilangnya fungsi jalan yang memungkinkan orang bersosialisasi hanya salah satu dari dampak negatif akibat pilihan memprioritaskan kendaraan bermotor. Jalan juga lalu menyediakan ilusi bagi kebutuhan mengatasi problem berkurangnya kapasitas dalam menampung kendaraan. Ilusi itu: menambah panjang, memperlebar, membikin jalan layang (flyover) atau terowongan (underpass). Puluhan tahun berlangsung, penambahan kapasitas ini hanya bisa memastikan satu hal: rusaknya tata kota.

Problem lain berderet-deret. Tapi yang relevan dengan kutipan tentang “a safe environment”, lingkungan yang melindungi keselamatan, adalah fakta bahwa hingga kini tingkat kematian akibat tabrakan tetap tinggi. Di seluruh dunia angkanya mencapai 1,5 juta tiap tahun. Di Indonesia, menurut data Kementerian Perhubungan, 2-3 orang per jam.

Belakangan di berbagai tempat di dunia muncul kesadaran bahwa status quo itu tidak bisa dibiarkan. Gerakan kemudian timbul dengan tujuan menempatkan manusia sebagai sentra kebijakan pengaturan dan pembangunan jalan. Ini menjadi bagian dari upaya mewujudkan kota sebagai tempat hunian manusia yang benar-benar layak.

Dalam gerakan itu digelorakanlah kampanye bahwa jalan mau dipakai buat apa pun adalah pilihan. Jadi, kalau mau mengatasi segala persoalan akibat pilihan yang keliru pada masa lalu, pilihan itu harus diubah.

Indonesia, sayangnya, tidak ada dalam peta global gerakan itu. Seperti banyak negara, kita memilih yang sudah diketahui keliru. Sudah begitu, kita abai sejak dari hal yang paling dasar–pendidikan dan tanggung jawab pemerintah untuk melindungi keselamatan warganya. Dan tidak ada kemauan untuk memperbaiki kekeliruan yang sudah telanjur terjadi bertahun-tahun.

Mungkin tersebab oleh itulah berlaku salah kaprah seperti halnya kutipan “roadsi are never meant to be a safe environment”. Salah kaprah ini lalu hanya bisa menyarankan satu hal saja agar para pengguna jalan yang lemah bisa selamat di jalan: stay alert, tetap waspada.

Purwanto Setiadi

Purwanto Setiadi

Kontributor Tempo, menulis isu-isu lingkungan, transportasi berkelanjutan, dan sesekali ulasan musik.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus