Saya ingin mengomentari masalah kerukunan beragama yang dipaparkan TEMPO pada iLaporan Utamarnya, 19 Desember 1992. Dari alternatif solusi yang ditawarkan untuk mencegah adanya konflik antaragama, di antaranya oleh Cak Nur, diungkapkan dengan ''cara beragama yang 'hanif' '' di mana di dalamnya terdapat ''semangat pencarian kebenaran yang teguh tapi dengan dada yang lapang''. Penerapannya terpulang pada iman kita, karena beragama itu pertanggungjawabannya dikembalikan pada pribadipribadi. Sebetulnya, jika dibandingkan dengan negara lain, negeri kita lebih baik. Soalnya, di Indonesia kita bisa menemukan rumah ibadah untuk pemeluk keyakinan yang berbeda di mana saja. Ini menunjukkan pemerintah tidak membedakan mayoritas dan minoritas. Juga dalam penerapan hari libur besar semua agama yang diakui di Indonesia. Maka sekarang tinggal kitalah yang pandaipandai memanfaatkan sarana yang diberikan. Setiap pemeluk agama sedikitnya mempunyai 'ghirah' (rasa cemburu) karena kecintaannya pada agama yang dianutnya. Tapi masalahnya: bagaimana kita dapat menghindari sifat cemburu buta yang akhirnya melahirkan fanatisme sempit yang dapat mengancam kerukunan beragama. Untuk itulah perlu dibina rasa saling mempercayai. Karena dalam beragama sebaiknya dipupuk rasa berbaik sangka, bukan berburuk sangka. Kritik bolehboleh saja, asalkan konstruktif. Sehingga bila ada permasalahan yang timbul antarumat beragama kita dapat mendudukkan permasalahan secara proporsional. Memang amat disayangkan kalau memang ada usaha pihak tertentu untuk ''menanam sayur di kebun orang'' apalagi dengan imingiming pemenuhan kebutuhan elementer. Nah, ini seharusnya menjadi cermin bagi ''pemilik lahan'' untuk menyediakan ''sarana produksi''. Contoh ''real'' dengan manajemen zakat maal yang baik. Saya punya satu pengalaman manis ketika saya tinggal di Australia, mengikuti program pertukaran pelajar AFS. Saya rasakan bagaimana rasanya jadi kaum minoritas. Di sekolah, hanya saya saja yang beragama Islam. Tapi ternyata lingkungan masyarakat yang mayoritas beragama Nasrani itu sangat menghargai ibadah sesuai dengan keyakinannya. Di sekolah, saya diberikan ruang khusus untuk salat. Saya pun leluasa memakai seragam sekolah bergaya busana muslimah ke sekolah. Begitu juga dengan keluarga angkat saya yang justru sering mengingatkan saya untuk salat. Pihak Gereja pun sempat mengundang saya untuk berdialog. Rasanya dunia ini tenteram kalau kita bisa menciptakan dialogdialog apresiatif antaragama. Bukan hanya para pemimpinnya saja yang berdialog, tapi juga para pengikutnya. Sehingga kita tidak perlu lagi melakukan tindakantindakan agitatif yang mengarah pada konflik. Mari kita budayakan dialog apresiatif antaragama -- bukan untuk mencari titik kelemahan, tapi untuk mencari saling pengertian. LELY WAHYUNIAR Mahasiswa IPB Semester 9 Fakultas Pertanian Jurusan Sosek Bogor -- Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini