MENTERI Kehakiman, Ismail Saleh, S.H., pernah menyatakan, ia tidak sependapat dengan Komisi III DPR yang menyarankan agar pembinaan karier hakim ditangani Mahkamah Agung. Dalam Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman, menurut Ismail Saleh, jelas dinyatakan bahwa pengelolaan organisasi, administrasi dan finansiil, serta pembinaan hakim dan panitera (mutasi, pengangkatan, dan lain-lain) menjadi tanggung jawab Departemen Kehakiman. Pernyataan Menteri Ismail Saleh itu, menurut saya, tidak tepat karena Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tidak pernah mengatur wewenang Departemen Kehakiman melakukan pembinaan atas para hakim. Kalau itu "dipaksakan" dengan memberikan penjabaran kepada pasal 11 UU Nomor 14/1970, itu bertentangan dengan UUD 1945 - sepanjang yang mengenai kedudukan menteri sebagai pembantu presiden dan kedudukan hakim yang diangkat kepala negara, dan berada di bawah Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif. Karena itu, aneh bila pembinaan karier hakim harus ditentukan Departemen Kehakiman dan/atau di daerah diserahkan kepada Kanwil Departemen Kehakiman. Kebijaksanaan itu, secara langsung telah mengebiri peran hakim, sehingga hakim akan kehilangan identitasnya sebagai organ yudikatif. Berangkat dari kenyataan itu, maka pandangan Ikahi di muka Komisi III DPR merupakan isi hati para hakim yang selama ini menjadi ganjalan perasaan yang tidak terungkapkan (TEMPO, 8 Juni, Hukum). Campur tangan terhadap putusan hakim, memanggil hakim dan menanyakan alasan pemberian hukuman dan tindakan-tindakan lain yang mengganggu kebebasan hakim kerap dialami para hakim. Putusan hakim merupakan tanggung jawab pribadi si hakim itu tidak dapat diatur siapa pun, termasuk pejabat atasannya. Kalau kita berprasangka terhadap suatu putusan hakim, maka mengujinya melalui upaya hukum yang berlaku, bukan dengan cara menanyai si hakim. Itu tidak etis - apalagi bila kita pun meragukan "kebersihan" si pejabat yang suka menginterogasi itu. Apa yang disampaikan DPP Ikahi (Ikatan Hakim Indonesia) dimuka Komisi III DPR selayaknya mendapatkan perhatian yang serius, karena apabila di biarkan bukan mustahil akan menimbulkan friksi-friksi yang mengganggu pelaksanaan tugas para hakim. Sayang, Ketua Mahkamah Agung Ali Said, S.H. merasa kecewa denan sikap Ikahi itu. Dan dari kenyataan itu, apa boleh buat, kita menaruh kesan bahwa Ketua Mahkamah Agung Ali Said, S.H. cenderung kurang akrab dengan para hakim bawahannya. Mudah-mudahan saja, Ketua Mahkamah Agung bisa lebih mampu memahami peranan hakim dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari. Salut buat Ikahi! W.A. Jakarta (Nama lengkap dan alamat pada Redaksi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini