Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Dilema Partai Nol Koma

Berpegang pada etika demokrasi, partai yang gugur sebaiknya mundur dari KPU

27 Juni 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

-------------------------------------------------------------------------------- REAKSI bisa bermacam-macam, kalau tiba-tiba ilusi digempur oleh kenyataan. Ada 170 lebih partai politik yang didirikan dan terdaftar resmi. Banyak yang ingin ikut pemilihan umum, tapi hanya 48 partai yang memenuhi syarat. Itu pun, konon, karena pemeriksaan persyaratannya sudah dilonggarkan. Jumlah partai ini besar sekali. Terlalu banyak sebenarnya untuk jadi peserta pemilu. Tetapi tak apalah, kata panitia seleksi, berhubung baru pertama kali ada pemilu bebas, dan demi mengikuti irama reformasi. Toh jumlah ini akan mengalami seleksi lagi dalam proses pemilu sendiri. Sebab, partai yang tak mampu meraih 2 persen dari jumlah kursi DPR akan gugur haknya untuk ikut pemilu berikutnya. Akan terjadi penyederhanaan alamiah. Yang tak memenuhi standar harus bergabung, melebur dengan partai politik lainnya, kalau masih berniat ikut pemilu lagi. Begitulah bunyi undang-undang. Namun, bahwa setiap partai dengan yakin memproyeksikan bisa melampaui ambang batas 2 persen, itu tentu didasarkan pada semacam ilusi. Sebab, bila betul terwujud, DPR akan terdiri dari 48 partai yang masing-masing hanya punya 10 kursi. Nonsens belaka. Sebaliknya, bila bukan digerakkan oleh ilusi, tentu semua siap menerima kemungkinan kalah. Kini, sesuai dengan perhitungan sementara, cuma enam atau tujuh partai yang selamat melewati batas 2 persen perolehan kursi. Selebihnya hanya memperoleh nol koma sekian persen suara saja. Dengan demikian, ada sekitar 40 partai yang harus melikuidasi diri setelah ini. Fakta ini ternyata diterima oleh kebanyakan dari yang terkena dengan reaksi yang tak dapat disebut wajar. Protes dikemukakan dengan berbagai dalih. Dan masalah yang timbul sebagai konsekuensi gugurnya dari pemilu berikutnya dihadapi dengan sikap yang kurang mencerminkan siap menerima kekalahan. Keanggotaan di KPU (Komisi Pemilihan Umum), misalnya. Memang, dalam undang-undang ditetapkan bahwa masa keanggotaan KPU adalah lima tahun. Tetapi, dalam ayat sebelumnya ditentukan bahwa keanggotaan KPU itu terdiri dari wakil-wakil partai politik peserta pemilu. Logisnya, kalau partainya tidak mungkin lagi jadi peserta pemilu, tentu wakilnya tak bisa jadi anggota KPU (lagi), bukan? Gejalanya, partai-partai kecil yang banyak ini (Bung Karno dulu menyebutnya sebagai partai "gurem", nama sejenis kutu ayam) tetap ingin mempertahankan wakilnya di KPU sampai habis masanya. Ini akan menimbulkan kontradiksi serius. Wewenang dan fungsi KPU adalah meneliti dan menetapkan partai politik yang berhak jadi peserta pemilu. Bagaimana mungkin KPU diisi dengan wakil partai yang sudah pasti tidak berhak ikut pemilu, tapi berwenang untuk menentukan partai lain memenuhi syarat atau tidak? Harus diakui bahwa penyusunan undang-undang tentang pemilu memang mengandung banyak kelemahan. Ketentuan di satu pasal bisa dipertentangkan dengan pasal lainnya, contohnya seperti tentang keanggotaan KPU tadi. Konsistensi sistematisnya kurang sempurna dan harus diperbaiki kelak. Tetapi, bila ditafsirkan dengan itikad baik dan ditinjau dari maksud pembentukan undang-undang itu mengenai tujuan tiap pasal, tak perlu ada kerancuan memahaminya. Kelemahan peraturan yang ada hendaknya tidak dibaca dengan kacamata frustrasi akibat ilusi yang diruntuhkan oleh kenyataan hasil pemilu yang lalu. Bersedia menerima kekalahan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari proses pertumbuhan demokrasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus