RABU pekan lampau, gedung berwarna hijau muda dan krem dengan tiga lantai berbentuk "U" itu terlihat masih berantakan. Terletak di Jalan Kimia, Jakarta Pusat, lahannya dipenuhi serpihan bahan bangunan. Potongan kayu dan batu bata berceceran di mana-mana. Terlihat pula beberapa pekerja yang berusaha menutupi reruntuhan bangunan dengan papan tripleks—usaha yang sia-sia karena semak liar tumbuh di sana-sini.
Satu-satunya petunjuk yang memberikan tanda bahwa gedung bekas Kantor Direktorat Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan itu sudah menjelma menjadi lokasi pendidikan adalah tulisan "Universitas Bung Karno". Tulisan itu tertera pada papan yang terpancang di depan gedung tersebut, lengkap dengan lambang almamater, yaitu potret Soekarno dilingkari untaian padi dan kapas.
Dengan kondisi fisik yang masih centang-perenang itulah Universitas Bung Karno (UBK) mengawali kehidupannya. Pendiri UBK, Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS), tampaknya tak ingin melewatkan kesempatan menjaring calon mahasiswa baru di tahun ajaran ini. Walaupun renovasi gedung itu setidaknya membutuhkan waktu sebulan, pendaftaran mahasiswa baru sudah dimulai sejak Senin pekan ini—setelah UBK diresmikan 25 Juni lalu oleh Presiden B.J. Habibie di Istana Negara.
Kendati belum terlalu siap, UBK rupanya cukup menarik minat calon mahasiswa. Menurut sekretaris Yayasan UBK, Ristiono, saat ini sudah ada lebih dari 1.000 orang yang berminat menjadi mahasiswa UBK. Itu kenyataan yang tak mengherankan. Sebab, selain menyandang nama besar proklamator Indonesia, universitas ini punya sejarah panjang.
Enam belas tahun lampau, UBK sebenarnya sudah berada di ambang pembukaan. Dua buah kampus di Jalan Bukitduri Tanjakan dan di Jalan Jenderal Sudirman sudah siap menerima mahasiswa. Namun, tes masuk sekitar 4.000 calon mahasiswa di Balai Sidang Senayan, akhir September 1983, dibubarkan karena tak ada izin aparat. Meski Rachmawati Soekarnoputri, sang Ketua Umum YPS, sudah mencoba berbagai jalan, UBK tak bisa terus. "Kopertis (Koordinator Perguruan Tinggi Swasta) III, yang membawahkan perguruan tinggi se-Jakarta, menolak permohonan kami karena dianggap tidak memenuhi persyaratan teknis, administratif, dan akademis," ujar Rachma. Padahal, seperti dikemukakan Rektor UBK Soekrisno Rammelan, keberatan Kopertis sangat tidak berdasar. Selain sudah ada kampus, mereka sudah punya laboratorium dan 300 orang dosen.
"Jelas ini politis," kata Rachma mengomentari pelarangan tersebut. Kabarnya, pelarangan itu datang dari Presiden Soeharto, yang rupanya merasa alergi dengan nama pendahulunya. Rachma menunjuk bukti, sekolah lain milik YPS, yaitu SLTA Bung Karno di Klaten, Surabaya, dan Cianjur, hanya dibiarkan hidup tiga tahun.
Setelah Soeharto digantikan oleh Habibie, niat putra ketiga mantan presiden Soekarno itu membara kembali. Beberapa bulan lalu, ia mengajukan izin pembukaan UBK dan keinginannya disambut baik oleh Habibie. Kendati beberapa bulan lalu Habibie pernah mewanti-wanti bahaya komas (komunisme, marhaenisme, dan sosialisme)—suatu hal yang belakangan diralatnya—dengan senang ia menerima Rachma di Istana. Di sana, ia memuji Bung Karno sebagai tokoh idolanya dan bahkan menawarkan peresmian UBK saat ulang tahunnya, 25 Juni.
Maka, dengan lampu hijau dari Habibie, UBK pun berdiri. Pada tahap awal, perguruan tinggi ini akan membawahkan enam fakultas—fakultas ilmu sosial dan ilmu politik (FISIP), hukum, ekonomi, teknik sipil, teknologi industri, dan teknologi pertanian—dan menampung 2.000 calon mahasiswa. Untuk tenaga dosen, saat ini sudah lebih dari 400 orang yang melamar, padahal yang dibutuhkan hanya 180 orang.
Tentu saja, karena membawa nama Bung Karno, "Kampus ini akan menjadi pusat kajian ajaran-ajaran Bung Karno," kata Soekrisno Rammelan, yang juga menantu Hartini Soekarno. Untuk langkah pertama, marhaenisme Soekarno itu akan diajarkan dalam mata kuliah umum—jadi bukan mata kuliah khusus. Ajaran itu akan menjiwai seluruh kegiatan perkuliahan dan kegiatan akademis lainnya.
Sedangkan untuk mata kuliahnya, menurut Soekrisno, kurikulum UBK tetap mengikuti ketentuan baku pendidikan tinggi di Indonesia. "Tapi yang menjadi fakultas unggulan adalah FISIP dan fakultas ekonomi karena langsung mempelajari ajaran Bung Karno, seperti perekonomian berdikari dan nasionalisme," kata Soekrisno.
Ajaran ini rupanya menarik para pendukung Soekarno—selain biaya kuliahnya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan biaya kuliah universitas swasta lain di Jakarta. Yenny Amelia, salah seorang calon mahasiswa, misalnya, mengaku disuruh mendaftar oleh orang tuanya. "Bokap (bapak) memang pendukung PDI Perjuangan. Kalau Mega menang, kan, urusannya jadi gampang," ujarnya.
Bina Bektiati, Hardy R. Hermawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini