Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Dimitri

7 Agustus 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ada satu cerita tentang kematian Tuhan.

Pada suatu pagi yang cerah, seorang sinting berlari ke pasar, dengan membawa lampu terang. Ia berteriak, "Aku mencari Tuhan! Aku mencari Tuhan!"

Orang-orang geli.

"Kamu kehilangan dia?" ada yang bertanya.
"Memangnya dia hilang, seperti anak-anak?" kata yang lain.
"Atau sedang bersembunyi? Atau pindah alamat?"

Si orang sinting tak mempedulikan cemooh itu. Ia menyeruak ke tengah kerumunan. Serunya: "Kalian tahu ke mana Tuhan pergi?"

Orang-orang diam, mungkin menganggap pertanyaan itu tak penting dijawab. Si sinting pun berkata, "Kita telah membunuhnya--kau dan aku. Kita adalah pembunuh-pembunuh Tuhan...."

Cerita ini, saya salin bebas dari karya Nietzsche, Fröhliche Wissenschaft (1882), menunjukkan satu keadaan ketika yang disebut Tuhan di kitab suci dan rumah ibadat tak lagi relevan bagi hidup. Tak ada orang yang tampak kaget, kehilangan, cemas--atau sebaliknya, lega, ketika Tuhan dinyatakan tak mati.

Hanya orang sinting itu justru yang peduli. Ia mencari Tuhan di pagi yang cerah dengan membawa lampu; ia nyaris putus asa: jika Tuhan tak ada, tak ada lagi dasar yang kukuh. Jika Tuhan mati, hilang pegangan tentang mana yang benar dan dusta. Manusia tak akan berdiri di atas dasar yang kekal, di pusat yang mutlak tak tersentuh sejarah. Kejahatan jadi sah.

Di momen itu, kecemasan si sinting mirip yang dirasakan Dimitri dalam novel Karamazov Bersaudara. Tokoh novel Dostoyevsky itu gentar: jika tak ada Tuhan, apa jadinya nanti dengan manusia? "Tanpa Tuhan dan kehidupan kelak? Itu berarti apa saja diperbolehkan sekarang...."

Dimitri agaknya memerlukan Tuhan sebagai penjaga garis dan sekaligus wasit. Putra sulung Fyodor Karamazov ini penuh kontradiksi dan kegalauan. Dibandingkan dengan kedua saudaranya, ia berada di tengah-tengah dalam soal iman. Alyosha: alim, lembut hati. Ivan: tak percaya bahwa Kristus, dengan cinta-kasihnya, tepat bagi dunia di mana manusia tak bisa dikasihi dan dipercayai. Dimitri hidup berdosa, tapi ia menyatakan akan mencintai Tuhan selamanya, bahkan kalaupun ia dimasukkan ke neraka.

Ia opsir ganteng pemikat perempuan dan peminum yang hidup boros; uang problem yang gawat baginya. Tapi ia menyukai puisi, memahaminya dengan baik--khususnya puisi Jerman yang tak mudah. Favoritnya: sajak-sajak Schiller. Penyair sahabat Goethe ini percaya, seni mampu melepaskan manusia dari hidupnya yang brutal seperti hewan dan membawanya ke dunia cita-cita luhur persaudaraan.

Dimitri sendiri terombang-ambing: ia sering terbawa nafsu, tapi ada dorongan hatinya untuk menjaga kehormatan dan sikap yang luhur. Ia pernah mencoba memerkosa Katerina, tapi di saat terakhir niat ini ia urungkan. Kecantikan, katanya, itu hal yang menakutkan. Ia jatuh cinta kepada Grushenka, tapi cemburu; ia curiga ayahnya akan merebut perempuan itu. Padahal Grushenka mencintainya, walau terlambat. Syahdan, Fyodor ditemukan tewas, dan Dimitri, anak sulungnya yang membencinya, dituduh jadi si pembunuh. Pemuda yang sedang kesulitan uang ini juga diduga merampok ayahnya sendiri.

Hakim memvonisnya 20 tahun kerja paksa di Siberia. Tapi ini pengadilan yang keliru. Si pembunuh sebenarnya kawan Ivan Karamazov. Ia berbuat kejahatan dengan keyakinan yang datang dari Ivan, bahwa di dunia yang tanpa Tuhan, "semua diizinkan".

Yang menarik dalam novel Dostoyevsky yang termasyhur ini (disukai Einstein dan Stalin) adalah Tuhan yang hadir di mana-mana justru ketika Ia dipersoalkan dan diragukan. Tuhan menyusup, dengan nama lain, dengan penyamaran, ke dalam hubungan yang saling asih antarmanusia. Tuhan boleh dianggap mati, tapi cinta, kebaikan, dan keadilan tak jadi mustahil. Maka tak benar bahwa semua hal, terutama kekejian, jadi sah.

Si sinting dalam parabel Nietzsche salah. Tuhan memang sudah mati dibunuh, tapi itu Tuhan yang sudah dijadikan obyek, berhala yang dikonstruksikan kekuasaan manusia, Tuhan yang tak berbicara lagi sebab ada orang-orang yang mengangkat diri jadi juru bicara-Nya dan mengambil alih kata-kata-Nya. Sementara itu, Tuhan yang tak jadi berhala tetap membuat keajaiban-keajaiban dalam keindahan yang bersahaja. Ivan Karamazov, si atheis, secara tak langsung mengakui itu.

"Meskipun aku mungkin tak percaya ada tatanan dalam alam semesta, aku mencintai daun-daun kecil yang rentan ketika tumbuh di musim semi. Aku mencintai langit biru, aku menyayangi sejumlah orang... aku mencintai beberapa perbuatan mulia orang-orang, meskipun aku tak lagi punya harapan bagi mereka.... Aku ingin bepergian di Eropa, Alyosha.... Tapi aku tahu akan hanya pergi ke pekuburan, meskipun sebuah pekuburan yang sangat berharga.... Sungguh tak ternilai mereka yang dimakamkan di sana; tiap butir batu di sekitar nisan bercerita tentang kerja mereka, pergulatan mereka, pengetahuan mereka, hingga aku akan merunduk mencium batu-batu itu, meskipun aku yakin semua itu cuma sebuah pekuburan.... "

Si sinting (dan Nietzsche) jauh dari Ivan, Alyosha, Dimitri.

Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus