Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Dinasti

22 November 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SANJAY Gandhi tewas pagi hari 23 Juni 1980 itu. Pesawatnya, yang ia kemudikan dengan didampingi Kapten Saxena yang sedang tak enak badan, jatuh. Pitts S-2A berwarna merah itu terjungkal beberapa menit setelah terbang, menabrak pohon-pohonan di balik Willingdon Crescent, New Delhi. Pada usia 34, Sanjay mati. Perdana Menteri Indira Gandhi kehilangan seorang putra dan penerus. India kehilangan seorang calon pemimpin. Tapi mungkin dengan itu Tuhan juga memberkati India. Sebab, Sanjay selama hidupnya yang pendek adalah tokoh yang merepotkan. Paling tidak jika kita membaca buku Tariq Ali yang memikat itu, The Nehrus and the Gandhis. Banyak hal di sekitar kematian anak Indira dan cucu Nehru itu merupakan ilustrasi bagaimana kira-kira hidup Sanjay dan lingkungannya. Pesawat Pitts itu, contohnya. Ia diberikan oleh sebuah perusahaan Amerika, sebagai hadiah, untuk Sanjay, ketika ibunya jadi penguasa penuh India selama masa berlakunya keadaan darurat. Ketika sang ibu tak jadi lagi perdana mentcri, pemerintahan Partai Janata yang menggantikannya ingin menyelidiki perkara "hadiah" ini. Buru-buru perusahaan Amerika yang mengirimkan Pitts itu bersedia mencabut kembali pemberiannya. Tapi apa mau dikata: belum lagi itu terjadi, Indira Gandhi terpilih lagi. Maka, kasus ini didrop dan Sanjay boleh terus menikmati hadiahnya yang mahal. Maka, pagi itu Sanjay memutuskan untuk terbang -- suatu sport yang ia gemari. Tapi yang terjadi adalah Pitts pemberian itu runtuh. "Kita ucapkan selamat jalan kepada pemimpin muda kita yang pergi ini, dengan air mata yang tak akan terhapus selama satu abad", begitu kata-kata seorang wartawan di hari murung itu, tentu saja dengan sedikit menjilat. Satu abad adalah masa yang teramat panjang. Buku Tariq Ali terbit di tahun 1985, cuma lima tahun setelah air mata dikeluarkan buat Sanjay. Di dalamnya kita bisa membaca bagaimana sang "pemimpin muda" itu dipandang: hampir tanpa pujian. Sanjay dilahirkan di Delhi di tahun 1946 (kakaknya, Rajiv, yang jadi perdana menteri kini, dilahirkan dua tahun sebelumnya di Allahabad). Ayah mereka, Feroze Gandhi, seorang wartawan dan anggota parlemen yang tidak begitu patuh kepada partai, mencintai mereka. Tapi sang ibu adalah seorang keturunan Nehru. Indira membesarkan Rajiv dan Sanjay di Delhi, di rumah keluarga yang megah dan bersejarah itu, Teen Murti House. Feroze Gandhi tak mau ikut. Wisma Teen Murti punya ruang-ruang besar dan halaman-halaman luas. Di situ tinggal Nehru, sang kakek, perdana menteri pertama, dengan sejumlah hewan kesayangannya -- antara lain anak harimau. Sanjay, seperti kakaknya, sejak kecil pasti telah mulai mengerti apa artinya privilese dipotret, bersalaman dengan tamu-tamu penting, dan bermain-main dengan anak macan, ketika orang lain gentar dan menjauh. Dan Sanjay tampaknya juga berani dengan banyak hal lain. Dia tak menyelesaikan sekolahnya. Ia tergila-gila pada mobil: selama tiga tahun ia magang pada pabrik Rolls-Royce. Belum lagi ia rampung belajar di sini, ia sudah tak betah lagi. Ketika itu ibunya sudah menggantikan kakeknya, jadi perdana menteri. Sanjay pulang, dan memperoleh apa yang dimintanya: sebuah pabrik mobil yang dipimpinnya sendiri, dengan nama Maruti. Mendengar ini orang pun marah, terutama kaum oposisi. India toh sudah punya pabrik mobil milik negara. Tapi mendengar kritik seperti itu, sang Ibu, sang perdana menteri, marah. Orang tak bisa melarang Sanjay punya usaha hanya karena dia anak Indira Gandhi, katanya. Dan bukankah Perdana Menteri tak pernah minta anaknya diperlakukan istimewa? Dan bukankah tak ada yang melanggar hukum dalam berdirinya Pabrik Maruti? Kaum oposisi, seperti lazimnya oposisi, tak yakin. Tapi akhirnya mereka memang harus diam. Toh akhirnya proyek Maruti gagal. Sekali lagi, Sanjay tak pernah belajar untuk telaten dan tahan uji. Maka, ia memasuki proyek baru: karier politik, yang akhirnya diharapkan akan berakhir dengan posisinya sebagai pemimpin India. Indira seolah-olah seperti Korea Utara: menyiapkan sebuah dinasti. Tapi ternyata Sanjay bukan orangnya. Ia ingin terlalu lekas mengubah India misalnya dengan memaksakan pemandulan rakyat agar jumlah penduduk tak meledak. Ia ingin mengubah Kota Delhi dan menggusur penduduk di sana-sini. Sayang, India bukan otomobil. Ahli mesin umurnnya memang teramat dangkal dalam memandang masyarakat, tapi apa boleh buat: Sanjay adalah putra Indira Gandhi. "Siapa yang menyerang Sanjay berarti menyerang saya," kata sang ibu yang berkuasa penuh itu. Maka, orang pun cuma hanya menggrundel, diam -- sampai pagi hari 23 Juni itu. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus